17. Back

846 95 12
                                    

"Dia sudah bangun?" Eleanor bertanya seraya menuangkan cairan teh panas dari dalam teko mini pada tiga gelas di hadapan nya. Hari ini gadis berambut coklat menyala itu terlihat lebih santai. Rambut nya dibiarkan tergerai sempurna menutupi bagian bahu nya yang selalu dilapisi mantel. Dan hari ini ia tidak memakai pewarna bibir yang selalu dibawa kemana-mana pada saku celana nya.

"Dia siapa?" Abigail mulai menaburkan lada bubuk pada permukaan daging rusa yang tengah ia panggang. Aroma khas makanan baru masak pun menyeruak di seantreo dapur, dan Eleanor sudah berdecak tidak sabar sejak tadi.

Gadis berambut terang itu mendaratkan bokong nya pada lapisan kursi kayu yang sudah tua, bahkan kursi itu berderit ketika Eleanor menduduki nya. Setelah itu Eleanor mulai menyeruput teh nya yang masih mengepulkan asap tebal. "Pria yang dua hari lalu menyatakan cinta padamu,"

Abigail nyaris tersedak. Bersyukur posisi nya yang memunggungi Eleanor membuat ekspresi kaget berlebihan yang barusan ia tampilkan tidak terlihat oleh adik Justin itu. "A-iya. Maksudku, tidak. Aku tidak tau,"

Eleanor tertawa, "Kau selalu salah tingkah jika sedang membahas Justin."

"Membahas siapa?" Suara yang biasa nya sebening telaga itu kini terdengar serak. Justin mengerjap seraya menutup pintu kamar nya dengan suara yang parau. Mata pria itu belum sepenuh nya terbuka, dan dia masih tidak bisa berhenti menguap. Tapi sumpah, Abigail begitu menyukai penampilan Justin yang terlihat lebih alami seperti saat ini. Rasanya… dia baru pertama kali merasakan jantung nya berdegup cepat ketika melihat seorang pria. Entah karena selama ini pria yang ia lihat hanya Albert saja, atau memang Justin memiliki pesona yang luar biasa.

"Membahas rusa yang sedang ku masak," Abigail menyahut sewot. Gadis itu bersyukur karena suara nya tidak terdengar bergetar atau gugup seperti kemarin.

Justin mengedikkan bahu nya. Setelah ber-oh ria, pria itu duduk berhadapan dengan Eleanor. Lantas menyeruput jatah teh nya ketika Abigail hadir dengan tiga potong daging rusa di dalam satu piring. Gadis berambut coklat gelap itu menjatuhkan bokong nya pada kursi samping Eleanor, dan mereka mulai menyantap santapan pagi sesuai jatah masing-masing.

Setelah melewati delapan menit yang diselimuti keheningan, Abigail mulai bersuara. "Berapa minggu lagi?"

"Berapa minggu lagi apa?" Justin bertanya acuh, dan Eleanor menjawab sebagai perwakilan pertanyaan Abigail. "Soal perang itu, kan?"

Perang.

Entah bagaimana tapi Justin sampai tersedak setelah mendengar satu kata enam huruf itu. Eleanor reflek menyodorkan teh milik Justin yang langsung diraih pria itu dengan cepat. Justin tetap terbatuk meski cairan coklat bening itu sudah mengalir melewati tenggorokan nya yang kering. Abigail hanya menonton, gadis itu ingin tertawa kalau boleh jujur saat melihat permukaan wajah Justin yang putih jadi kemerah-merahan. Tapi dia masih baik hati untuk tidak menertawakan orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati untuk menyelesaikan fase tersedak nya. Maka gadis itu hanya mengulum senyum geli, dan kembali memotong potongan daging rusa di hadapan nya tanpa memperdulikan Justin yang kini sedang sibuk mengatur deru nafas nya yang tidak stabil.

"Puas, babe?"

Abigail mengerutkan kening, gadis itu sempat mengira kalau Justin tengah berbicara dengan Eleanor. Tapi mengingat selama ini kata babe hanya ditujukan pada nya, Abigail hanya bisa memandang Justin dengan kernyitan. "Puas melihat ku tersedak?" Justin meralat.

"Apa-apaan?" Abigail nampak tidak terima, alis tebal gadis itu beradu untuk menciptakan wajah menyeramkan yang kini ia pusatkan pada Justin yang masih megap-megap.

"Jangan fikir aku tidak melihat kau menahan tawa tadi, kau tau? Itu… jahat," Justin menyipitkan mata nya. Bertolak belakang dengan Abigail yang justru membesarkan pupil besar-besar. Gadis itu tidak menyangka Justin sempat melihat nya selama pria itu tersedak tadi. Dan Eleanor, dia lebih memilih menyantap daging panas milik Abigail ketimbang mendengar perdebatan yang sama setiap detik nya. Dudu dan Tutu sepertinya masih tidur. Dan Abigail tentu saja mengingat mereka, gadis itu sudah menyiapkan jatah sarapan untuk dua kurcaci itu.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang