7. Teleportation

934 97 4
                                    

Pria yang sedari tadi hanya mendengar perbincangan sengit yang mengisi penuh seantreo ruang tahta itu kini mengeluarkan suaranya. "Kita punya Abigail, mohon maaf Yang Mulia Mozart. Tapi hamba rasa kerajaan Mighael tidak perlu ikut dalam perang kali ini. Lebih baik Mighael tetap menjaga keamanan Thandeus agar rakyat sekitar tetap nyaman."

Petra mengulum senyum nya mendengar suara Albert yang begitu lantang nun tegas, namun berusaha tetap terdengar sopan ketika berhadapan dengan raja Mighael berambut perak itu. Sama seperti ketiga anaknya. Petra, Priskila dan Peter. Jarak usia mereka hanya berbeda dua tahun. Petra 22, Priskila 20 sementara Peter 18. Mereka semua hadir dalam kunjungan ke kerajaan Calester untuk menemani ayah nya sekaligus mewakili nama besar Mighael untuk menawarkan tenaga perang mereka untuk Calester. Tapi seperti yang sudah diucapkan Albert, dia sama sekali tidak berharap Mighael memberikan bantuan. Melainkan Mighael justru harus menjaga seantreo Thandeus agar perang kali ini tidak berdampak buruk untuk warga yang tidak terlibat.

"Kita berhadapan dengan Evander, my son. Mereka penyihir hebat," King Gilgamesh merajuk putera nya. Perlu diketahui Albert dan Abigail sama keras kepalanya

"Sihir dilarang dalam perang. Your Majesty." Albert menarik napas, memejamkan mata seraya menenggelamkan jemarinya dalam satu kepalan. Entah harus menggunakan bahasa apa agar Albert bisa menolak bantuan Mighael tanpa menyinggung mereka

"Kau tau Arquimedes dari utara?" nada bicara Gilgamesh mulai jengah. "Dia bisa menghentikan waktu, dan kita tidak bisa menyadarinya. Dia bisa melakukan ribuan sihir yang tidak bisa dilihat oleh radar mata, Albert. Mighael jauh-jauh datang dari barat hanya untuk membantu kita, kau tidak berhak untuk memaksakan agar mereka mundur begitu saja."

Lagi-lagi Albert menghela napas, "kita terlalu sibuk dengan perang ini, ayah. Apa kau lupa? Adikku masih berada di luar sana. Dibawah hujan salju, tidak ada yang menjamin kalau dia masih hidup. Diluar sana banyak utron dan kred yang siap memangsanya dalam sekali kedipan. Bahkan Agenor, apa kau pernah berfikir untuk mengetahui keberadaannya? Tidak. Yang ada hanya perang dan perang,"

Albert tau ini sudah keterlaluan. Berbicara lancang di depan raja dari barat, oke. Ini bodoh. Tapi bahkan tidak ada yang membentaknya dengan sebuah teguran, alih-alih mereka terdiam sibuk mencerna kalimat panjang Albert. "Lantas, apa yang akan kita dapatkan setelah perang? Kemenangan? Kekalahan? Apa yang akan kita lakulan jika menang? Mempertahankan Thandeus dengan tiga kerajaan? Itu...

...konyol"

***

"Oke-oke Green, aku rasa jangan paksakan dirimu dulu. Kau masih shock," Justin meraih kedua bahu Abigail dari belakang kala gadis itu hampir saja terjerembab menuju tanah berlapiskan es salju di hadapan nya yang sudah siap mencumbu kening nya hingga berdarah. Bagus Justin selalu memperhatikan gadis itu hingga ia menyadari gerak-gerik yang salah pada Abigail

"Aku tidak shock," Abigail bersikeras. Bahu nya melengkung ke atas menghindari cengkraman Justin yang hangat dan lembut. "Aku hanya ingin mengetahui kebenaran," ia menambahkan

"Ya, dan apa kau tau dimana rumah Jenneth itu, hm? Jangan bilang kau membawa kami ikut bersamamu tanpa arah yang jelas. Aku bertaruh bahkan kau tidak tau ini dimana, Abigail." Eleanor menghentikan langkah nya. Berkecak pinggang dan menatap gadis yang mengaku sebagai pencuri itu dengan remeh. Abigail hanya membenamkan bibirnya dalam satu garis lantas mengalihkan pandangan menuju sepatu boot kulit yang membalut kakinya hingga ke lutut

"Aku hanya tau daerah rumah Jenneth itu." Abigail berujar pelan, gadis berambut nyala di hadapan nya pun tertawa hambar sambil membalikkan tubuh. Merasa begitu bodoh karna sudah berjalan selama sepuluh menit dengan gadis yang tidak tau kemana arah tujuan nya

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang