Bab II Bagian vii

552 75 10
                                    

Sebelum baca, well--guemaubilang sesuatu sama kalian. Rata-rata yang baca ini pasti belieberskan?.-. Gak semua sih. Tapi gue cuman mau ngasi tau aja kesakithatian gue soal... yea kalian pasti taulah. Dan gue yakin kalian kecewa abis, iyaga?

Dan satu hal yang gue minta dari kalian. Still here please. Still be a belieber for now and forever. Sumpah, Justin itu sayang sama kita:( walaupun "tapi justin begini tapi justin begitu" sumpah kalo kalian buka mata lagi, kalian bakal tau kalau Justin itu cinta bgt sama beliebersnya. Sampe detik ini.

Masa iyasih rasa sayang yg udh kita bangun sejak 7 taun lalu langsung ilang cuma kurang dr seminggu? Then, gue cuman mau ngajak kalian buat tetep disini sebagai beliebers bareng gue dan yg lain dan tunjukkin kl kita itu emg bukan fans tapi real beliebers.

And make he smile again.

OIYA YG BLM BACA FALSE MONGGO DIBACA

Cekidawt





Melihat pulau yang tampak ramai dari kejauhan, senyum Abigail mengembang. Gadis itu bersorak-sorai memanggil lima prajurit yang mengawalnya untuk melihat daratan Ecbatana semakin mendekat. Abigail tak lagi memikirkan apa bahaya yang akan terjadi di tanah sana, setelah melewati lima hari enam malam yang tak kunjung berakhir, kini Abigail telah sampai. Gadis itu sangat senang dan akan segera mendapatkan Oroten lantas kembali ke Calester secepatnya.

Namun, belum-belum Abigail sampai, wajah cantiknya tertekuk seketika. Gadis itu memandang defensif pada gerbang besar di pinggiran pantai. Abigail memutar badan nya untuk menatap Narsus, menantikan sebuah jawaban dari ahli siasat Calester tersebut. "Jadi, apa itu, Narsus Leonidas?"

Narsus menyipitkan pandangan untuk memastikan objek apa yang ia dapat. Gerbang besar bewarna hitam yang memiliki seribu ukiran doa dalam bahasa Ecbatana. Lantas pria itu mendesah kemudian menjawab pertanyaan Ratu-nya. "White gate." ucapnya, mengundang kerutan-kerutan tipis pada dahi Abigail yang putih. Wanita dengan mata hijau itu memiringkan kepalanya pada satu sisi, menunjukkan respon tak mengerti yang kentara.

"Gerbang yang bisa dilewati hanya oleh manusia."

"Aku manusia," Abigail menjawab. Kemudian Fred menggeleng tidak menyetujui. "Anda adalah seorang penyihir."

Mendengar itu, Abigail membuka mulutnya besar-besar dengan alis bertaut. Secara tidak langsung, Fred baru saja mengatakan bahwa Abigail tidak bisa melewati White gate tersebut. Aneh memang, gerbang besar itu bewarna hitam namun julukannya putih. Dan itu bukan poin utamanya. Kali ini, Abigail sibuk merutuki keadaan yang sudah membawanya terombang-ambing di lautan selama lima hari enam malam namun hanya berujung pada gerbang yang bahkan tidak bisa Abigail lewati. Gadis itu sama sekali tidak menyangka akan ada gerbang semacam itu disini, dan itu membuat Abigail kesal setengah mati. Taukah mereka bahwa Justin menunggunya di Calester sana? Benar-benar sialan.

"Kenapa kau tidak memberitauku?!"

"Tenang, Lady." Gieve, pria dengan rambut merah lumayan panjang itu menahan kedua bahu Abigail sebelum wanita itu mengeluarkan sihirnya untuk berontak dan melakukan hal-hal gila lain yang tidak disangka. Namun ternyata Abigail hanya diam. Pasrah dan tidak berontak seperti hipotesa Gieve. "Menurut informasi, White gate sudah dihancurkan lima belas tahun lalu. Rakyat Pars membakarnya. Kami tidak tau bagaimana gerbang itu masih berdiri tegak, well, meskipun warna nya sudah berubah 180 derajat."

"Tapi buktinya gerbang itu masih berdiri kokoh, Farangis!" Abigail berdecak. Entahlah, wanita itu merasa perjuangannya sia-sia. Masalahnya, kali ini perjalanan panjang yang ia lakukan benar-benar penting. Abigail sedang memperjuangkan nyawa seseorang. Dan nyawa itu adalah nyawa suaminya sendiri.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang