Bab II Bagian x

668 66 12
                                    

"Sudahlah, Justin. Tidak perlu difikirkan lagi. Lihat, aku disini, Alena disini, kita bersama-sama,"

Abigail menggerakkan ayunan yang terbuat dari anyaman bambu kuat dimana terdapat Alena yang berbaring mungil di tengah-tengahnya. Bayi kecil itu tertawa geli tiap kali Abigail menggerakkan ayunan itu sembari memberikan ekspresi wajah jelek, dan tawa Alena yang sumpah sangat Abigail rindukan sukses membuatnya bahagia tak ketulungan. Andai saja Justin tidak bersikap seperti sekarang, mungkin kebahagiaan yang Abigail rasakan akan lengkap. Namun kini, Justin hanya berdiri di hadapan kusen jendela sembari mengatupkan dagunya dengan ibu jari. Kedua mata hazel nya menyorot keluar, memandangi hamparan langit biru cerah dengan matahari yang baru saja menjulang tinggi. Justin hanya diam, berusaha masuk ke dalam kemampuan Arquimedes nya namun seperti yang telah diketahui, Justin tidak bisa menggunakan kekuatan itu semaunya. Kekuatan hebat itu datang begitu saja, tanpa diperintah ataupun disadari.

"Justin,"

Abigail mulai jengkel. Wanita itu beranjak, melangkah menjauhi ayunan rotan di sebelahnya kemudian berjalan mendekati Justin yang masih setia memunggunginya. Dengan lembut, Abigail menepuk sebelah bahu suaminya. Abigail menghembuskan nafas berat saat Justin masih tidak memberikan respon. Dan kemudian, gadis itu meletakkan pipinya pada punggung Justin secara perlahan, lantas kedua tangannya melingkar sempurna pada pinggang Justin erat-erat. Abigail dapat merasakan hangat tubuhnya Justin, Abigail dapat merasakan detak jantung Justin yang berpacu kencang, dan Abigail merasa nyaman bukan main.

"I'll be here,"

Justin menyentakkan kepalanya, menyandarkan bagian belakang kepalanya pada kening Abigail yang terekspos jelas. Harum aroma lavender kembali menguak indra penciuman Justin, membuat pria itu sempat memejamkan mata selama beberapa saat. "Kau tau, Grisel yang kita kenal bukanlah Grisel yang dulu aku kenal."

"Aku tau," Abigail menyahut cepat.

"Dia berbahaya,"

"Aku tau,"

"Dia menginginkanku, Abby."

"Aku tau,"

"Dia ingin kau pergi,"

"Aku selalu tau, dan kau pun harus tau jika aku tidak akan pernah membiarkan apa yang dia inginkan tercapai."

Justin menghembuskan nafas.

"Ini tidak semudah yang kau bayangkan,"

"Ini tidak serumit yang kau fikirkan, Justin."

"Bisakah kau berhenti membalikkan perkataanku?"

"Bisakah kau tenang dan tetaplah bersamaku?"

"Kau selalu saja mendebatku. Aku hanya khawatir tentangmu, tentang Alena, tentang kita."

Selalu saja begini. Terlalu khawatir dan parnoid. Padahal pada kenyataannya, selama ini Abigail selalu aman. Selagi Abigail berdiri di sisi Justin, membiarkan lengan Justin yang kekar melingkar pada tengkuknya yang jenjang, tentu Abigail akan selalu aman. Tempat paling aman mana lagi selain pelukan penyihir terkuat di Utara? Bahkan, sekarang berubah menjadi penyihir terkuat di Thandeus. Kuat. Justin kuat. Tidak ada yang bisa menyakiti Justin ataupun orang yang Justin sayangi. Tidak akan bisa, karna Justin akan melindungi Abigail dengan nyawanya.

"Kita semua akan baik-baik saja. Dia Grisel, dan selamanya akan menjadi Grisel." suara Abigail melembut, dua lensa hijau cerahnya berusaha masuk ke dalam permata coklat milik Justin, membuat Justin terhanyut meski perlahan-lahan.

"Dia bukan Grisel lagi. Erestein sudah merebut jiwa murninya,"

Mendengar kalimat yang lumayan sukar untuk Abigail cerna, kening gadis itu mengerut. Alisnya yang tebal bertaut. "Erestein? Jiwa murni?" Abigail bertanya dengan nada polos. "Ada berapa banyak hal lagi yang belum ku ketahui di dunia ini, Tuan Evander?

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang