18. Marry

862 88 4
                                    

28 Januari 994

Calester Castle

"Oh! Selamat pagi, Julius!" Gilgamesh berseru ramah ketika pria bermata kelabu itu menyapa nya lebih dulu dengan pandangan ramah seperti biasa. Gilgamesh menepuk lantas mengusap kasar belakang pundak pria itu ketika ia membungkuk hormat, senyum Raja Selatan itu belum sirnah sejak tadi. Jelas sekali bahwa pria baya yang memiliki bulu halus di sekitar rahang nya itu mengindahkan betul kembali nya Julius Bellaire yang notabene nya adalah pria yang paling ia percayai di banyak hal. Dan dari sekian banyak hal itu, menjaga Abigail adalah salah satu nya. Gilgamesh tidak akan menolak jika kelak Julius melamar Abigail untuk ia jadikan isteri, toh... Julius sudah ia anggap sebagai putera nya sendiri selain Albert.

"Ada apa kau datang pagi-pagi begini?" Gilgamesh menarik senyuman rendah hati. Jemari nya yang besar belum lepas dari sebelah bahu Julius meski pria itu sudah kembali berdiri.

"Seperti yang sudah saya katakan, My Lord. Saya akan menyumbangkan kekuatan saya untuk membawa nama Calester sebagai pemenang."

Senyum Gilgamesh semakin mengembang. "Itu bagus, tapi aku rasa pasukan mu yang hanya berjumlah ratusan tidak akan membantu, Bellaire."

"Oh, tidak Tuan-ku. Aku bukan menyumbangkan tenaga ataupun kekuatan,"

"Lantas?" Raja Selatan itu mengerutkan dahi nya.

"Mau bermain curang sedikit?"

**

Evander Castle

"Pagi, Justin." Eleanor menyapa dengan senyum nya yang mengembang tipis. Senyuman yang berbeda, senyum yang siapapun melihat nya tentu akan tau bagaimana perasaan gadis dengan lensa madu itu sekarang. Kecewa. Ya, Eleanor sangat kecewa, tanah Thandeus yang kata nya adalah wilayah paling damai di alam semesta ini akan mengadakan perang terbuka tiga hari ke depan. Dan bagaimanapun juga, ini terjadi karena berawal dari perjodohan aneh itu. Sekali lagi Eleanor merutuk, jika dia tidak dilahirkan--mungkin tidak akan ada perjodohan ini dan tidak akan ada perang seperti yang akan terjadi tiga hari lagi. Tapi, menyesal dan mengumpat sendiri tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kan?

Justin mengerjap dua kali. Pria itu bangkit duduk ketika Eleanor menyibakkan tirai gorden hingga cahaya matahari langsung menusuk penglihatan nya. "Pagi, Elle." sangat tidak wajar, bukan? Normal nya, sepasang kakak beradik ini akan melakukan ritual bertengkar di pagi hari atau adegan seret-menyeret hanya agar Justin bisa membuka mata nya. Dan sekarang, mereka saling menyapa sebagai mana bangsawan pada umum nya. Memang, di mata orang mungkin ini terlihat wajar dan sudah pantas, tapi bagi Justin ataupun Eleanor--ini benar-benar tidak beres.

"Tiga hari lagi, kan?" Eleanor bergumam. Tangan gadis itu telah bergerak menuangkan cairan coklat bening yang mengeluarkan aroma sedap menuju cangkir mungil bersimbol kerajaan Evander. Dan setelah nya, Eleanor menyodorkan cangkir itu pada Justin lantas duduk pada tepi ranjang dengan senyum yang jelas palsu.

"Yea," Justin terkekeh hambar setelah selesai menyesap teh hangat buatan Eleanor. "Kita harus melawan Abigail," pria itu melanjutkan.

"Tentu saja tidak. Well, kita harus menang. Tapi, kita tidak perlu menyakiti Abigail untuk menang. Kita bisa membunuh semua prajurit Calester dengan mudah tanpa menyakiti Abigail. Kita punya sihir, dan mereka tidak. Meski mereka punya kuda dan gajah perang yang kuat, tapi mereka tetap manusia biasa yang tidak bisa melihat radar sihir kita."

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang