Bab II Bagian xii

601 71 20
                                    

"Time"

Tidak perlu waktu semenit bagi Justin untuk tiba di tanah Pars. Dengan kemampuannya berteleportasi, pria itu telah tiba tepat di depan hutan Pars yang nampak gelap sepi tak berpenghuni. Justin memandang nanar pada dua kuda yang tengah memakan rumput dengan jarak yang berjauh-jauhan. Alisnya yang coklat tebal beradu, pria itu mendekati salah satu kuda tersebut lantas tersentak kala ia mengenali empu kuda itu. Tysa Varden. Tidak salah lagi. Kuda mana selain kuda Tysa yang memiliki bulu-bulu kipas di sekitar leher kuda tersebut? Justin menegak ludah. Lantas beralih kembali menatap hutan yang terlihat begitu seram. Tanpa setitik pun sumber cahaya. Dan Justin tau sesuatu, tiga orang yang berarti dalam hidupnya berada di dalam sana. Abigail, Eleanor, dan Tysa. Entah apa alasannya, namun Justin tidak habis fikir kemana arah fikiran Tysa sampai bisa-bisanya mengikuti Abigail kesini. Justin berdecak, lantas melangkah untuk masuk dengan berani. Pria itu mengumpat di setiap langkahnya. Sampai ia pun masuk ke dalam dimensi lain yang dipenuhi kegelapan.

Justin membaca sebuah mantra. Dua detik. Api muncul dari telapak tangannya. Pria itu tersenyum getir lantas hendak kembali melangkah dengan satu-satunya sumber cahaya yakni api pada telapak tangannya kalau saja ia tidak berhadapan dengan sosok familiar yang menghadangnya dengan sigap. Justin terkesiap, pria itu menggunakan lima detiknya yang berharga untuk menganga tak percaya. Pria di hadapannya, yang menghadangnya kini adalah orang yang sudah Justin beri kepercayaan besar untuk melindungi Abigail. Pria berambut merah cerah ini telah menjabat sebagai anggota pasukan elite kerajaan. Dia yang kuat, dia yang mengawal Abigail menuju Ecbatana beberapa hari lalu. Dan kali ini, Justin baru tau bahwa ternyata pria itu adalah pengkhianat.

Emosi Justin memuncak. Pria itu menggeram marah dengan tatapan super tajam ia tujukan pada Gieve yang justru tersenyum puas melihat reaksi pertama pangerannya.

"Gieve Farangis," Justin melantukan nama itu dengan hiperbolis. Jelas menyiratkan kebencian di setiap nada bicaranya. Namun Gieve justru terkekeh melihat geraman Justin, pria itu bertingkah seolah ia lebih kuat ketimbang Justin yang notabenenya adalah penyihir terkuat di Thandeus. Namun, dimana sekarang Justin menapakkan kakinya bukanlah Thandeus lagi. Melainkan Pars, jantung perekonomian dunia tahun 995 pada saat itu.

"Nice to see you, Your Highness. Ada yang bisa saya bantu?" Gieve menatap meremehkan.

"Jangan bilang jika kau lah yang sudah membawa adikku kemari. Dan sekarang membuat nyawa Abigail, Eleanor dan Tysa dalam bahaya. Kalau sampai benar--"

"Kalau benar kenapa?" Gieve menukas cepat. Sejurus kemudian pria itu menguap dengan santainya seakan-akan topik ini tidak berarti sama sekali. Hal itu sontak saja membuat Justin semakin marah hingga pria itu melemparkan api dalam genggamannya tepat pada perut Gieve hingga pria itu terpental jauh ke belakang dan berakhir menabrak batang pohon yang mengenai bagian punggungnya. Gieve jatuh terduduk lemas, namun pria itu justru terkekeh yang lama-kelamaan berubah menjadi tawa yang begitu besar. Dan Justin semakin marah melihat tingkah prajurit sialan itu.

"Kau..."

Justin berjalan mendekat dengan cepat. Pria itu menarik seragam prajurit Calester yang Gieve kenakan. Gieve terangkat dalam genggaman Justin. Dan dengan tidak senonohnya, Gieve meludah. Ludahnya yang menjijikan akan mengenai permukaan pipi Justin kalau saja pangeran utara itu tidak menghentakkan kepala hingga ludah Gieve jatuh ke permukaan tanah. Justin mengerang, pria itu membantingkan tubuh Gieve dengan kuat ke bawah sampai menghasilkan suara yang begitu nyaring. Tanah kering yang Gieve jatuhi pun retak saking kuatnya hempasan Justin. Suara tulang-tulang patah terdengar. Gieve sudah terkulai lemas tak berdaya, namun pria itu belum tewas. Ia meraih pedang yang tersampir di pinggangnya lantas mengarahkan pedang tersebut tepat pada jantung Justin.

Justin menghindar, memiting tangan Gieve hingga pedang tersebut jatuh lalu merebut pedang itu. Justin menempelkan mata pedang menuju leher Gieve yang sedang berbaring tak berdaya. Mata coklat madu Justin menyimpan kebencian tak terhingga. Benci dan kecewa. Jelas kecewa karna ia sudah mempercayai orang yang salah. Orang yang ia percaya justru membawa dua gadis paling berharga dalam hidup Justin menuju pintu kematian. Tidak pernah sekalipun terfikir dalam benak Justin bahwa Gieve akan melakukan hal sekeji ini. Namun kenyataan mengatakan, Gieve melakukannya. Dan Justin tidak akan segan-segan membakar Gieve hingga menjadi abu kalau saja ia tidak memerlukan informasi dari pria berambut merah itu.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang