[III] 1. Relife

665 68 15
                                    

Satu bulan berlalu sejak kejadian malam itu. Mereka kembali dengan aktivitas masing-masing. Buah hati Justin dan Abigail sudah pandai merangkak, dan sesekali merambat di tembok berusaha untuk berdiri. Sekilas, Thandeus terlihat normal. Tenang seperti hari-hari sebelumnya. Namun sebetulnya, ada satu yang kurang. Benar-benar kurang. Pria itu, yang biasa menyeret adiknya untuk mandi pagi kini tak lagi menunjukkan eksistensinya di Istana Calester. Dia yang memiliki mata hijau kebiruan itu tak lagi meramaikan Selatan, dia pergi. Dan sejauh apapun Abigail lari dari kenyataan yang satu ini, ia akan tetap ingat. Hatinya akan teriris secara terus-menerus tiap kali ia mengingat nama itu.

Albert.

Sudah masuk musim gugur. Abigail tengah menidurkan Alena di atas ranjangnya saat suara ketukan pintu terdengar. Wanita berusia 21 itu menyelimuti puteri tunggalnya sebelum merangkak mundur turun dari ranjang. Kemudian ia membalikkan tubuh lantas berjalan cepat menuju pintu. Membukanya dan mendapati Elise sedang berdiri di ambang sana sembari membawakan nampan berisikan beberapa lembar roti juga segelas susu. Terdapat selai coklat dalam mini toples juga sebilah pisau tipis. Abigail tersenyum simpul, memiringkan tubuh mempersilahkan nanny sekaligus sahabatnya itu agar masuk ke dalam. Elise membalas senyuman Abigail disertai anggukan. Gadis dengan mata hitam segelap malam itu melangkah anggun kemudian meletakkan nampan yang memiliki motif bunga-bunga khas Calester di atas nakas besar pada sisi ranjang. Abigail menghampirinya.

"Maaf merepotkan. Aku tidak bisa ikut sarapan bersama karena Alena sangat rewel pagi ini." Wanita berambut coklat gelap itu menjatuhkan bokongnya pada tepi ranjang.

"Aku tau. Makan pagi hari ini berlalu dengan normal. Seperti biasa."

"Kemana Justin akan pergi hari ini?"

Elise nampak mengingat sebelum menjawab. "Agendanya hari ini kosong. Kau tau, dia lebih sering di Istana sejak kau hampir pergi malam itu. Apa-apaan Abby, kau sangat lemah! Aku fikir keturunan Utara yang dipadukan dengan Selatan sanggup menggenggam dunia dalam kepalannya. Ih, ternyata hanya membunuh setan ungu saja kau sampai seperti itu. Payah-payah-payah-payah."

Abigail terkekeh lantas menyentil telinga sahabatnya itu untuk menghentikan kata payah yang Elise ucapkan berulang-ulang. Elise tertawa kecil mendapat sentilan tersebut. Lalu ia ikut duduk di sebelah Abigail setelahnya.

"Kau sudah bersiap untuk bulan depan?" Tanya Abigail, tangannya bergerak meraih sebilah pisau tipis lantas melumuri pisau itu dengan selai coklat kesukaannya. Roti. Menu sarapan yang tidak pernah berubah bahkan sejak ia pertama kali bisa ikut sarapan besar bersama di Istana ketika ia berusia tiga tahun. Dan hingga sekarang, Abigail tidak pernah bosan. Roti sangat nikmat untuknya. Hangat, lembut, dan memiliki cita rasa yang enak. Meski roti murahan yang sering Justin berikan dua tahun lalu-pun, Abigail tetap suka.

"Bulan depan? Bukankah pernikahan Eleanor akan berlangsung lusa?"

Wanita bermata sehijau padang rumput itu melahap rotinya dengan suapan besar. Sama sekali tidak bersikap manis di depan sahabat kecilnya ini. "Bukan, bukan itu." Abigail menjawab sambil mengunyah. Menjijikan ketika Elise mampu melihat kepingan roti yang telah hancur di dalam mulut Abigail yang bergerak-gerak. Namun entahlah, Puteri Selatan itu tetap terlihat cantik. Bahkan sangat. Elise begitu iri dengan mata hijau Abigail yang serupa zamrud. Dan melihat mata itu juga membuat Elise mengingat Albert sesaat. Apa Pangeran tampan itu bahagia sekarang?

"Aku bertanya soal bulan depan. Perihal pernikahanmu dengan Pedro."

Mata Elise membulat sempurna. "Pep-pernikahan apa? Siapa? Kau sinting, Abigail! Siapa pula yang akan menikah."

"Oh, ayolah." Abigail menelan suapan terakhirnya. Wanita itu meraih segelas besar susu putih yang berada di nampan. Kemudian menegaknya sampai menyisakan setengah. "Bagaimana bisa dua orang yang saling mencintai tidak juga menjalin ikatan sebagai suami isteri?"

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang