Semua ini berawal dari hari itu, ketika bahan makanan di rumah habis.
Aku berinisiatif pergi ke hutan Inairakhi untuk mencari sayuran dan akar-akar rimpang yang bisa kami makan atau kami jadikan obat. Mila dan Hessa terlihat keberatan, tetapi tidak bisa melarangku pergi. Walau hutan yang berbatasan dengan desa kami terbilang angker dan keramat, keduanya tahu, aku mengenal hutan ini jauh lebih baik dari kebanyakan orang desa. Semasa hidupnya dulu, Ayah sering mengajakku menjelajahi Inairakhi. Beliau mengenalkan banyak jenis tanaman padaku dari yang bisa dimakan, bermanfaat sebagai obat, maupun tanaman beracun.
Selain itu, yang paling menyenangkan saat Ayah mengajakku ke mari adalah, aku bisa bertemu 'kawan-kawan baru' yang tidak terduga. Dulu, aku sering menangis saat bertemu mereka, terutama yang memiliki wajah seram. Namun, seiring waktu, aku menjadi lebih terbiasa, meski kadang-kadang kaget dengan kemunculan mereka yang tiba-tiba. Apalagi yang satu ini. Dia sering datang di waktu dan tempat yang salah. Sering aku berpikir, kenapa 'makhluk ini' hobi sekali menggangguku di saat yang kurang tepat?
"Sekalipun aku minta minggir, kau tidak akan minggir kan?" tanyaku keki sambil mengendurkan tarikan busurku. Sepasang Kijang yang merumput tak jauh dari tempatku bersembunyi sudah lari saat mendengar suaraku. Kesempatan keluargaku makan daging hilang sudah. Padahal... daging kijang itu bisa diawetkan dan menjadi persediaan bahan makanan untuk beberapa hari.
Ekspresi makhluk itu tidak berubah banyak. Wajahnya tetap datar dan mengesankan kewibawaan, meski matanya sedikit memicing tidak suka. Dulu, aku terpesona dengan sosoknya yang anggun dan bersih, tetapi setelah mengenal sedikit sifatnya, kadang-kadang aku merasa sebal dengan makhluk ini.
"Jangan berburu saat ini," tegurnya tanpa menggerakkan mulut sama sekali. Bibirnya tetap mengatup rapat, meski suaranya menggema di dalam kepalaku. Tanduk hitamnya bercabang-cabang seperti ranting pohon dan mengarah ke atas. Bulu-bulunya seputih awan, berkobar bak api yang menyala. Kuku-kukunya cokelat gelap, nyaris menyerupai warna tanah yang subur. Bentuknya seperti menjangan, tetapi dia jelas-jelas bukan menjangan. Kami menyebut makhluk sepertinya dengan nama Jugook.
"Keluargaku kelaparan. Kalau tidak berburu, bagaimana kami bisa makan?" gerutuku sambil memasukkan anak panah ke dalam tabung bambu yang tersampir di punggung, lalu menyelipkan busur ke bahu.
Makhluk itu melirik keranjang bambu kecil yang tergeletak di samping kakiku. Isinya belum penuh, tapi cukup untuk makan selama 3 hari.
"Kau sudah mengambil banyak," sorot matanya berubah sayu. Nada suaranya terdengar pihatin.
"Bagiku ini masih sedikit," kutenteng keranjang tersebut, kemudian pindah ke area lain untuk mencari bahan makanan lainnya. Dengan 5 mulut yaang harus kuberi makan (bila ditambah denganku menjadi 6), sayuran ini akan habis dalam waktu singkat. Setidaknya, aku harus mencari tambahan 2 atau 3 kali dari yang kudapatkan sekarang.
Sayang... tak banyak yang bisa kuambil. Banyak tanaman yang layu, bahkan mati. Pohon-pohon kering-kerontang, daun-daunnya kuning pucat dan meranggas terlalu banyak, ranting-rantingnya berubah warna keabuan seperti habis terbakar. Tanah hitam yang dulunya liat dan gembur, sekarang keras dan kering seperti kerak. Rumput-rumput pun tampak menguning seperti warna matahari. Inairakhi yang dulunya rimbun dan sejuk, kini terasa panas membakar akibat musim kemarau yang berkepanjangan.
Hampir 2 tahun desa kami mengalami musim kemarau. Meski 1 – 2 kali hujan turun, tetapi itu tidak cukup mengembalikan kondisi Inairakhi seperti semula. Jumlah air di sungai-sungai yang kami andalkan untuk mengairi ladang maupun untuk kebutuhan sehari-hari kian menyusut. Ceruk-ceruk danau pun hanya menyisakan kerak-kerak lumpur tebal berwarna hitam. Akibat kekeringan ini, panen di desa kami merosot jatuh hingga hampir sebagian besar penduduk desa kesulitan bahan pangan. Keterbatasan air membuat kami semua berhemat, terutama untuk merawat kebun-kebun kami yang selalu terlihat kehausan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasySeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...