Bab 48. Sheyana : Kesepakatan Tidak Terucap

1.4K 188 34
                                    

Warning : 20++


Hal pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah Tuan Shui. Beliau tengah duduk di ranjang dengan pandangan terfokus ke ujung tempat tidur. Tatapan beliau tampak menerawang dan dalam, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu yang penting. Sesaat, aku kebingungan dengan keberadaan beliau di sini. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengingat kembali, bahwa kami sudah menjadi pasangan suami – istri yang sudah menghabiskan malam bersama.

Ingatan mengenai kejadian tadi malam membuat wajahku memanas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berbalik dan membelakangi beliau, karena terlalu malu akibat tindakan yang kami lakukan semalam. Jika teringat kembali bagaimana cara bicaraku yang mirip seperti orang mabuk dan.... Demi Tadakhua, aku tidak ingin mengingatnya!

Tanpa sadar, aku menaikkan selimut hingga menutupi kepala dan membuat pria di sebelahku tertawa geli.

"Apa yang kau lakukan?" Pertanyaan beliau terdengar begitu lembut.

Setelah berbagi keintiman bersama, aku tidak bisa lagi memandang Tuan Shui dengan cara yang sama. Entah kenapa, aku merasa seperti tidak punya muka bila menatap beliau sekarang.

"Saya kedinginan," jawabku asal, berharap beliau tidak memedulikan keanehanku.

Seharusnya jawabanku ditanggapi sebagai angin lalu, anehnya, beliau justru kembali berbaring, membuat perasaanku bercampur-aduk. Aku menahan napas ketika jari-jari beliau yang dingin menyentuh kulit perutku. Dengan lembut, beliau menarikku ke pelukannya, membuat punggungku bersentuhan dengan kulit tubuh beliau.

"Apa kau ingin dihangatkan?"

"Sa...saya...saya...," Lidahku terbelit, karena aku tidak bisa berpikir dengan baik saat jemari beliau menelusuri lekuk tubuhku dengan perlahan. Isi kepalaku serasa kacau ketika beliau melakukannya.

Sekali lagi, beliau tertawa geli.

"Seharusnya aku tidak menggodamu saat ini," Ucapan beliau membuatku mengernyit. "Tapi aku tidak tahan untuk tidak menggodamu." Beliau menurunkan selimut yang menutupi kepalaku.

Sudah tentu, aku tidak berani menatap beliau, terutama karena posisi kami yang terlalu intim saat ini.

"Su...Sudah jam berapa sekarang?" tanyaku kikuk sembari berusaha melepas pelukan Tuan Shui. Bukannya melonggar, agresi jari-jari beliau justru semakin menyiksa.

"Entah," Tuan Shui menjawab tak acuh, kemudian mencium lekuk leherku. "Tapi tadi Ibu asuh memberitahu bahwa sarapan sudah siap."

Itu berarti matahari sudah naik cukup tinggi!

Aku melepas belitan tangan beliau dengan paksa dan berbalik dengan dahi berkerut. "Kenapa Tuan tidak membangunkan saya tadi?"

Dan itu adalah pertanyaan fatal, karena setelahnya, Tuan Shui menarik daguku dan menenggelamkan akal sehatku dalam gairah ciumannya yang membara. Hal itu sudah cukup untuk mematik kobaran api di antara kami.

Sentuhan beliau mengingatkanku pada kelembutan sutera istana yang pernah kudapat dari permaisuri, yang membuatku takjub, senang, sekaligus kagum. Caranya menyentuhku begitu halus dan hati-hati, seakan aku adalah permata yang tidak bisa dipegang sembarangan. Tidak ada keterburu-buruan, tidak ada tuntutan, yang ada adalah harmoni, seperti tarian yang bergerak sesuai irama musik.

Semalam aku merasakan ini sebagai hal asing yang menakutkan, tetapi sekarang aku merasakan sesuatu yang luar biasa, seperti kebahagiaan ganjil yang sulit kujabarkan. Kebahagiaan ini tidak seperti kebahagiaan ketika aku mendapat makanan di saat kelaparan atau ketika aku mendapat hadiah. Ini jenis kebahagiaan yang lain, sesuatu yang membuatku merasa sempurna, dicukupi, serta diinginkan. Namun, rasanya tidak adil bila hanya aku yang merasakan kesempurnaan ini. Kata Nyonya Suani, kesempurnaan ini harus dirasakan oleh keduanya, baik suami maupun istri. Bila salah satu saja yang merasakan, maka itu adalah keegoisan.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang