Bab. 3

2.6K 340 48
                                    

Mati aku, mati aku, mati aku. Beberapa detik setelah melepaskan anak panah kedua, aku sempat merapalkan kata itu berulang-ulang sambil meringkuk ketakutan di balik sesemakan. Mati tidak ada dalam agendaku hari ini. Ketika 2 penyihir yang tersisa bergerak ke arahku, aku cuma bisa komat-kamit membaca doa supaya Tadakhua melindungiku dari mereka dan Inaike tidak meninggalkanku begitu saja.

Sesuai arahannya, aku membidikkan anak panah ke 2 dari 4 penyihir yang merapal mantera. Saat salah satu penyihir tumbang, mereka masih tidak mau menghentikan rapalan, sehingga Inaike menyuruhku menembakkan satu anak panah lagi. Kali ini mereka benar-benar berhenti! Sayangnya, mereka balik mencariku!

Aku memeluk busur kuat-kuat, berusaha meredam ketakutan yang semakin menjadi-jadi sewaktu kedua penyihir itu semakin dekat. Kemudian, Inaike terlihat. Dia menghalau mereka berdua, melontarkan sihirnya yang membuat kedua penyihir itu terkejut karena tidak siap dengan serangannya. Inaike menggiring kedua penyihir itu ke lain arah, sedangkan di sisi lain dia juga memerintahkanku untuk membawa kabur lelaki asing yang hampir jadi persembahan hidup.

Setelah membebaskan lelaki asing itu, aku mengarahkannya ke barat Inairakhi. Namun, belum jauh dari tempat rapalan mantera, laju lari lelaki itu melambat. Dia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah lagi.

"Tuan... Anda benar-benar baik-baik saja?" aku memandang horor wajahnya yang semakin pucat pasi. Pria ini jelas tidak baik-baik saja!

"Aku masih kuat," lelaki bermata biru gelap itu mengibaskan tangannya.

"Tapi... darahnya...," aku ngeri melihat tetesan darah di mulutnya. "Sepertinya luka Anda lebih parah dari yang terlihat."

Lelaki berambut keemasan itu lagi-lagi terbatuk. "Kalau begitu...," dia berdeham saat suaranya serak. "Kita harus cepat keluar dari hutan ini dan mencari pertolongan."

Dia benar. Kami harus segera keluar dari hutan sebelum keadaannya semakin parah. Namun, mendadak aku teringat kijang serta setumpuk sayuran hutan yang kutinggalkan di sekitar sini. Aku tahu, ini memang bukan waktu yang tepat untuk mengkhawatirkan bahan makananku. Ada orang yang lebih butuh pertolongan saat ini! Tapi..., tetapi saja aku meresahkan daging segar dan tanamanku. Aku mendesah, semoga tidak ada yang mengambilnya.

"Ada apa?" pertanyaan lelaki itu membuatku tergagap. Mungkin dia melihat kebimbanganku, sehingga menunjukkan ekspresi heran seperti itu.

"Tidak ada apa-apa," aku meringis, setengah memaksakan diri untuk tersenyum. "Tidak jauh dari hutan ini ada desa kecil. Saya tinggal di sana. Kita mungkin bisa meminta bantuan pada Iksook untuk mengobati luka Tuan."

Pria itu mengangguk pelan. Kemudian, kami kembali berlari menuju ke arah barat Inairakhi.

***

Desaku terletak di barat Inairakhi. Orang-orang menyebutnya desa Shamashinai, atau desa yang berada di lereng bukit Inai. Penduduknya tidak cukup banyak, tetapi tidak sedikit pula. Kebanyakan, orang-orang desaku bekerja sebagai petani. Namun, ada satu – dua orang yang menjadi pedagang dan menjualkan hasil kerajinan orang desa pada orang-orang kota.

Sebagai desa yang letaknya paling mendekati perbatasan luar kekaisaran, desa kami terbilang cukup tenang dan damai. Tidak banyak orang yang merusuh atau pun cari gara-gara di desa kecil kami yang damai. Mungkin karena pengaruh keberadaan Inairakhi, sehingga orang-orang takut mencari gara-gara dengan penduduk desa kami. Dulu, pernah ada prajurit kerajaan tetangga yang menyusup masuk dan mencari masalah dengan penduduk desa. Hasilnya jelas, prajurit itu terbunuh keesokan harinya. Mayatnya ditemukan di hutan, dengan tubuh tertusuk puluhan tombak kayu yang bentuknya tidak wajar.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang