Bab 14. Sheyana

1.6K 267 37
                                    

Aku benci melihat adik-adikku menangis, apalagi jika mereka menangis karena diriku.

Seandainya aku bisa menggerakkan tangan, tentu sudah kuhapus air mata mereka. Namun bahu dan lenganku sakit sekali. Meski pendarahannya berangur-angsur berhenti, tetapi sakitnya tak tertahankan, seperti ada ribuan jarum yang menancap di bagian tubuh yang terluka.

"Ja...ngan me...na...ngis la...gi," aku memaksakan diri untuk bicara meski itu membuat tenggorokanku sakit. Suaraku pecah dan serak. Demi Tadakhua, sulit sekali mempertahankan kesadaran saat kedua mataku ingin menutup sempurna. Aku ingin menyerah dan tidur, dari pada terjaga tetapi melihat keluargaku menangis seolah-olah aku akan mati.

Hessa mengusap air mata di pipinya, tanpa bicara apa pun. Namun, dari raut wajahnya, aku tahu, dia kebingungan dan panik. Matanya melirik bergantian antara wajahku dan luka-lukaku. Kedua tangannya menekan kain yang menutup luka di bahuku kuat-kuat, hingga menimbulkan nyeri yang membuatku ingin menangis. Tapi... bagaimana bisa aku menangis di depan adik-adikku?

Mila menekan kain di lenganku. Dari tadi ia menangis terisak-isak bersama Athila dan Erau yang duduk bersebelahan dengannya. Meski tadi Hessa melarang mereka untuk masuk ke area dapur yang kacau, ketiga anak bandel ini justru nekat kemari dan langsung histeris melihat keadaanku yang berdarah-darah.

"Yuuni... jangan tinggalkan kami," Athila tersedu-sedan saat mengucapkan itu. "Jangan pergi ke tempat Ramma."

Aku juga tidak ingin meninggalkan mereka dan tinggal bersama ayah. Namun, makin lama aku merasa tidak sanggup menahan rasa sakit ini. Tuan Shui pergi ke halaman depan bersama Shorya dan sampai sekarang belum kembali. Entah apa yang terjadi di sana. Walau Inaike bersama kami, tetapi sedari tadi Jugook itu diam tanpa berniat mengatakan apa-apa. Dia membiarkan wujudnya terlihat, meski itu membuat Mila, Athila, dan Erau terkejut untuk sesaat.

Lirikanku bersirobok dengan tatapan Inaike. Untuk kali ini, aku berharap dia membaca pikiranku dan mengatakan pada adik-adikku bahwa aku akan baik-baik saja.

"Dia masih hidup, belum mati," Inaike berujar, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. "Jangan menangisinya seperti dia akan mati."

Inaike tetap saja Inaike. Harusnya aku tidak berharap dia menghibur adik-adikku dengan kata-kata manis. Aku mendesah pelan, menyesali keinginanku tadi.

"Kami sedih dengan keadaan Yuuni," Athila memberengut sambil menatap Inaike. Ketakutan yang sempat kulihat di wajahnya telah berganti menjadi rasa kesal. Setelah mereka tahu bahwa Inaike adalah penguasa Inairakhi, adik-adikku terlihat pucat dan takut tanpa alasan yang berarti. Namun, ucapan ketus Inaike sepertinya membuat ketakutan mereka pada Jugook itu sedikit berkurang.

"Sampai kapan Yuuni harus berbaring di tanah?" Hessa menoleh ke arah Inaike. Suaranya terdengar serak dan pecah, tetapi tidak separah suaraku yang nyaris putus-putus. "Tuan Shui sudah terlalu lama di luar."

"Nanti," Inaike menjawab singkat sambil memandang ke lain arah. Air mukanya terlihat serius dan sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.

Aku baru menyadari bila keadaan di sekitar kami terasa tenang dan hangat. Tak terdengar suara-suara aneh atau pun pertarungan, membuatku mengambil kesimpulan bila Inaike sedang melindungi kami. Apa pun yang sedang terjadi di luar sana antara Iksook Inarha, Tuan Shui, Shorya dan para penyihir, kekuatan atau pun keributan mereka tak sampai pada kami karena Inaike membuatnya seperti itu. Makhluk itu... di balik tampilannya yang ketus dan acuh tak acuh, sebenarnya sangat memedulikan keselamatan kami.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang