Shorya muncul di dalam kamar pengantin Shui dan Sheya. Dia berdiri di depan meja ruang tamu, enggan mendekati tempat tidur yang tertutup tirai. Ada semacam energi agung yang menyelimuti dua manusia yang sedang tertidur di sana dan Shorya tak ingin energinya semakin ditekan. Kelelahannya sudah bertumpuk, selain karena energinya banyak termakan untuk perjalanan lintas dunia, pikirannya juga disibukkan dengan beragam rencana yang masih acak. Shasenkai enggan membantu, yang artinya dia harus berjuang sendirian.
Shorya merasakan gerakan samar dari arah tempat tidur. Shui tampaknya terbangun akibat kehadirannya dan bersikap waspada, sehingga Shorya memutuskan mengutarakan kehadirannya secara terbuka.
"Ini aku," kata Shorya, memecah keheningan di dalam kamar yang gelap.
Tirai tersibak sesaat. Shui turun dari ranjang dan memungut bajunya yang terserak di lantai. Dia mengenakan pakaiannya dengan tenang, seolah ketelanjangannya bukan sesuatu yang memalukan.
Shorya memperhatikannya, mengamati sikap Shui yang begitu tenang. Tak ada penyesalan, tak ada kesedihan yang dirasakan Shorya darinya, seakan-akan semua hal yang dilakukannya hari ini adalah sesuatu yang dia jalani tanpa paksaan.
"Bukankah ini terlalu pagi untuk menemuiku, Shorya?" Suara Shui begitu pelan, ketika dia duduk di kursi tamu yang ada di kamar.
Shorya tersenyum miring. "Kalau ini bukan hal mendesak, aku juga tidak ingin mengganggumu." Ia mengibaskan tangan, sehingga api menyala di ujung lilin-lilin yang semula padam.
Shui mengernyit, terlihat tidak menyukainya. "Sheya bisa terbangun kalau ada cahaya ini."
Salah satu alis Shorya terangkat. "Sejak kapan kau peduli pada kenyamanan wanita yang tidur di ranjangmu?" Ia duduk di seberang Shui.
"Sejak aku menikah."
Shorya tertawa mendengarnya. Suaranya yang lantang dan jernih membuat Shui menoleh ke tempat tidur, memastikan bahwa Sheya masih terlelap.
"Tenang saja, dia tidak akan bangun. Aku sudah memagari area kita bicara," Shorya mengambil botol porselen berisi arak, kemudian menuangnya pada dua cawan perak yang diambilnya di tengah meja.
Giliran Shui yang menaikkan salah satu alisnya. "Memagari?"
"Itu artinya, tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan selain kita berdua."
"Kelihatannya ini sangat penting."
"Benar. Karena berkaitan dengan keutuhan kekaisaran ini," Shorya meletakkan salah satu cawan berisi arak di depan Shui. "Tapi sebelum kita membicarakannya, aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Semoga kau diberkati keluarga yang bahagia dan dikaruniai anak-anak yang cerdas dan berbakti." Ia mengangkat cawannya ke arah Shui.
"Terima kasih," Shui balas mengangkat cawan minumnya.
Kemudian, mereka berdua menenggak arak tersebut dalam sekali minum.
"Apa yang membuatmu begitu lama dalam menemui Shasenkai, Shorya?" Shui memandangnya heran. "Dua bulan lamanya kau pergi tanpa memberiku kabar."
Shorya meletakkan cawannya di atas meja. "Pertama, perlu kau ketahui, bahwa waktu yang berjalan di duniaku tidak selaras dengan waktu yang berjalan di duniamu. Beberapa hari berada di sana, bisa jadi berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan di sini."
"Kemudian, membujuk Shasenkai tidak semudah apa yang kau pikirkan." Shorya melanjutkan, "Sikapnya benar-benar keras. Kelakuan adikmu sudah menyinggungnya dan harga dirinya. Sekalipun Kekaisaran ini diambang kehancuran, dia tidak berniat membantu dan hanya duduk melihat dari kerajaannya saja."
Penjelasan Shorya membuat Shui termangu. Mata birunya memandang Shorya tanpa berkedip.
"Bagaimana bisa Shasenkai bersikap seperti itu? Bukankah dia seharusnya menjadi penjaga kekaisaran ini?" Komentar Shui. "Apa yang membuatnya begitu tersinggung sampai bertindak seperti ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasiSeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...