Inaike tidak mengatakan apa-apa setelah membunuh orang yang menyerang Tuan Shui. Jugook itu justru menghilang begitu saja dan sampai sekarang belum muncul kembali untuk memberi penjelasan soal kejadian pagi tadi. Yang lebih mengejutkan, Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk datang, tak lama setelah kami tiba rumah. Mulanya aku berpikir bahwa beliau ingin memeriksa kondisi Tuan Shui, tetapi saat Shamasinaike Ornuk menyuruhku ke dapur untuk membuat minuman, aku menduga mereka datang untuk alasan lain. Bisa jadi Inaike memberitahu Iksook Inarha mengenai orang yang menyerang kami tadi, sehingga Iksook dan Shamasinaike buru-buru datang untuk melihat keadaan kami.
Selepas kepergian Iksook dan Shamasinaike pun sikap Tuan Shui menjadi aneh. Memang, biasanya beliau tenang dan pendiam. Namun, diamnya kali ini terasa lain. Seolah-olah, beliau tengah memikirkan sesuatu yang berat dan melelahkan. Air mukanya berubah menjadi muram, begitu pula sorot matanya. Seharian ini beliau memilih menghabiskan waktu di halaman belakang rumah. Sambil duduk di atas kursi panjang yang terbuat papan-papan kayu seadanya yang dipungut Hessa dari rumah-rumah tetangga kami, beliau memandangi kebun kecil yang terhampar di depannya dengan tatapan menerawang.
"Mungkin... seharusnya kita tidak menolongnya."
Ucapan Inaike membuatku berhenti menjahit pakaian Tuan Shui yang robek. Makhluk itu muncul secara tiba-tiba dan berdiri di pinggir tikar.
Setelah selesai membereskan rumah dan menyuapi ibu, aku memilih memperbaiki pakaian Tuan Shui. Suasana di dalam rumah sangat tenang, bahkan bisa dibilang hening. Hessa dan Mila pergi ke ladang paman kami bersama Erau dan Athila untuk membantu membersihkan sekaligus merawat tanaman. Praktis, yang ada di rumah hanya ada aku, ibu, dan Tuan Shui. Karena Ibu selalu berada di dalam kamar dan tidak menyadari kehadiran Tuan Shui, berarti hanya kami berdua saja di rumah.
Untunglah beliau memilih menyepi di halaman belakang, sehingga situasi di antara kami tidak terasa sangat canggung. Bagaimana pun juga, aku perempuan dan dia laki-laki. Rasanya... ganjil sekali bila kami berada di ruangan sama saat situasi sesepi ini.
"Maksudmu Tuan Shui?" aku sengaja merendahkan suara. Bila tidak ingat keberadaan Tuan Shui di belakang sana, aku pasti tidak akan sungkan untuk berbincang keras-keras dengan Inaike.
"Ya." Makhluk itu berdecak pelan sambil memandang ke arah pintu rumah yang terbuka. Ada keresahan yang amat kentara dalam tatapannya, membuatku terheran-heran sekaligus penasaran, karena Inaike tidak pernah bersikap seresah dan se-takut ini. Dia selalu percaya diri dan suka bersikap pongah.
Aku menunduk, menatap kembali jahitanku yang jauh dari kata selesai. Sambil meneruskan pekerjaan, aku berkomentar, "Berandai-andai tidak akan menyelesaikan masalah apa-apa. Lagi pula, rasanya tidak pantas menyesali kebajikan yang sudah kita tebar."
Sebenarnya lebih nyaman menjahit di dapur karena sinar matahari yang masuk ke dalam lebih banyak, tetapi... karena sedikit hal, aku memilih menjahit di ruang tengah. Walau pintu ruang depan kubuka lebar-lebar, cahaya yang masuk tidak seterang di dapur.
"Kebajikan atau masalah baru?" desis Inaike.
Aku kembali menatapnya, hanya untuk mendapatkan tatapan penuh kecaman darinya. "Kenapa kau menganggapnya seperti itu?" aku meletakkan jahitanku di atas tikar, benar-benar memperhatikan Inaike sepenuhnya. "Menolong orang lain adalah tindakan mulia. Bukankah kita dianjurkan untuk tolong-menolong?"
"Masalahnya... yang kita tolong sepertinya bukan orang biasa."
"Ya. Aku tahu. Beliau kemungkinan besar adalah bangsawan. Benar kan?" aku memutar mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasySeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...