Bab 18. Sheyana

1.6K 235 110
                                    


"Hessa...," Aku tidak tahu harus bicara apalagi melihat adik lelakiku tidak mempraktekkan ajaranku dengan benar. "Panahmu tidak akan pergi ke mana-mana kalau postur tubuhmu seperti itu." Aku membetulkan kembali posisi tangan dan bahu Hessa yang membungkuk.

Hessa mendesah, terlihat merana dengan latihan dasar yang kuulang berkali-kali. Sudah tiga hari dia kupaksa untuk berlatih memanah dan hasilnya belum terlihat sama sekali. Hessa tak pernah menyukai panah maupun pisau, dalam pengertian dia tidak suka berburu. Ke hutan pun paling untuk mencari beberapa sayuran atau ikan. Baginya, menombak lebih mudah dari pada memanah, padahal... keduanya sama-sama membutuhkan konsentrasi besar untuk menembak buruan.

"Iksook Inarha menyuruhku menjemur tumbuhan obat," ujarnya, semakin tidak ingin berlama-lama berlatih memanah.

"Mila sudah mengurusnya," jawabku datar sambil menendang-nendang kakinya agar terbuka lebih lebar. Mana ada memanah dengan posisi nyaris berdiri sempurna?

"Yuuni..., kau melatihku memanah untuk berburu atau menjadikanku prajurit, sih?" Hessa terang-terangan memprotes ketika aku menyuruhnya berdiri lebih tegak.

"Jadi prajurit tidak ada salahnya. Gajinya cukup besar untuk biaya hidup di desa selama sebulan," komentarku mendapat pelototan Hessa. "Kau harus belajar dasarnya dulu. Setelah mahir, kau baru bebas memanah dengan gaya apa saja!"

"Kenapa aku harus berlatih memanah sih?" Hessa lagi-lagi menggerutu.

"Hessa...," aku menghela napas, kemudian mengusap-usap bahuku yang masih cedera. Hampir dua bulan berlalu semenjak penyerangan waktu itu. Bahuku hampir sembuh, tetapi belum sepenuhnya pulih. Meski masih dibebat dan digantung dengan kain, kadang-kadang Ishaara Amaria membantuku melatih otot-otot tangan kiri yang agak kaku karena sudah terlalu lama tidak digunakan.

"Sebentar lagi rumah kita selesai diperbaiki. Tidak akan ada yang membantu tugas-tugas rumah kita nanti. Selama kita tinggal di rumah Iksook Inarha, memang banyak yang membantu pekerjaan rumah maupun ladang. Namun, setelah kita kembali ke kehidupan semula, kita harus siap mengerjakan semua kegiatan seperti dulu." Aku berusaha memberinya pengertian, "Bahu Yuuni masih cidera. Ada kemungkinan selama beberapa minggu ke depan Yuuni belum bisa beraktivitas dengan baik. Setidaknya, kau bisa menggantikan Yuuni berburu di hutan. Kita tidak bisa menggantungkan diri dari kebun dan ladang, selama musim kemarau ini terjadi."

Hessa terdiam mendengar penjelasanku. Selama ini kami bisa bertahan juga karena persediaan makanan yang ada di hutan. Kekeringan yang berlangsung selama dua tahun ini terasa semakin gila dari waktu ke waktu. Bahkan, sekarang air yang mengaliri sungai Amuryan berkurang sangat banyak, sehingga kami ramai-ramai membuat kolam penampungan untuk menyimpan air bersih dari sungai.

"Aku mengerti," Hessa akhirnya menyerah dengan kepala sedikit tertunduk. Dia kembali memosisikan diri untuk memanah. Walau masih belum sempurna, sikap tubuhnya lebih baik dari sebelumnya.

Sampai tengah hari kami berlatih memanah di padang kecil yang tertutup oleh pepohonan. Letaknya tidak jauh dari rumah Iksook Inarha, hanya sekitar lima belas langkah dari halaman belakang. Padang ini sebenarnya masih termasuk halaman belakang rumah Iksook Inarha, tetapi suasananya lebih mirip seperti hutan kecil, karena Iksook Inaraha membiarkan pepohonannya seperti apa adanya.

Aku menyuruh Hessa menembak sasaran jerami yang kugantung di batang salah satu pohon. Anak panahnya lebih banyak meleset dari sasaran, padahal jarak Hessa menembak dengan pohon tersebut tidak begitu jauh. Ketika anak panah yang ada di dalam tabung habis, dia memunguti anak-anak panah yang bergeletakan di sekitar pohon, tanda bahwa kekuatannya dalam melesatkan anak panah pun tidak begitu besar.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang