Bab 53. Inarha : Cahaya Di Tengah Kegelapan

968 153 13
                                    

O... Ira Eri e Sanan....

Sananiru ilja mia i oru Damun

Aniriru mia osha ilja Namaru

Mikaliru mia osha mardhamia

O... Ira Eri Tadakhua

Rimanariru Khu Damun nera se hamin

Mia sirdu silda Namaru,

Mia sirhan sarin Namaru

Li otha mesa ha'an bakti Namaru,

E Li kahan mardhe laknamaru

Mia sirhan nua Namaru

Mia sirdu nihana e limatta Namaru

Kidung suci yang biasa dilantunkan di Imizdha terdengar secara terus-menerus di paviliun tamu yang ada di bagian timur kediaman Shui. Bait-bait berisi permohonan akan pertolongan, keselamatan, serta perlindungan itu didendangkan tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore, bahkan malam, lantunan kidung suci itu terus dinyanyikan dalam suara lirih yang terkadang serak.

Aroma wewangian bunga tercium menyengat dalam ruangan yang dipakai Inarha dan Amaria. Selama lima hari, Inarha tidak berhenti menyanyikan kidung suci, begitu pun membakar bubuk wangi dalam mangkuk tembaga yang berisi arang yang membara. Di salah satu sudut kamar yang telah dibersihkan dan dialasi permadani tebal, Iksook Inarha duduk bersila dengan mata terpejam. Sesekali tangan kanannya bergerak menjumput bubuk wangi yang ada di dekatnya, kemudian menaburkannya pada mangkuk arang.

Di sisi lain kamar, Amaria duduk termenung sembari menatap suaminya yang masih berjuang untuk keselamatan ibukota. Wanita tua itu khawatir, terlihat dari sorot matanya yang memancarkan kecemasan dan jari-jarinya yang terpaut terlalu erat di atas pangkuannya. Sebenarnya, Amaria pun ingin membantu Inarha untuk memanjatkan kidung suci pada Tadakhua, tetapi Inarha menolaknya dengan halus dan menyuruhnya untuk menunggu saja. Katanya, tidak baik bila mereka berdua melakukannya, salah satu dari mereka harus tetap berjaga dan berkomunikasi dengan Sheya dan keluarganya.

Wanita tua itu menghela napas, lalu beranjak ke meja bundar yang ada di tengah ruangan. Dia menuang teh ke cangkirnya kemudian meminumnya pelan-pelan. Pandangannya kembali tertuju pada Inarha.

Selama lima hari ini, suaminya jarang beristirahat. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk berdoa. Dia makan, minum, tidur seperlunya saja. Bila ia meminta suaminya untuk tidur lebih lama, Inarha akan menolaknya sambil tersenyum dan mengatakan... bahwa tidur masih bisa dilakukan kapan pun selain waktu ini. Begitulah Inarha..., jika sudah mengambil sikap atau pun keputusan, dia akan kukuh untuk melaksanakannya.

Suara ketukan pintu membuat perhatian wanita tua itu teralih. Dia beranjak membukakan pintu dan mendapati Sheya berdiri di ambang pintu. Di belakang wanita itu, ada Joori dan Muena yang membawa nampan berisi makanan yang masih mengepulkan uap.

"Ishaara," Sheya mengangguk ke arahnya yang disambut Amaria dengan senyuman.

Biasanya, hanya pelayan atau adik-adik Sheya yang datang membawakan makanan. Namun, kali ini Sheya mengantar sendiri makanan untuk mereka.

"Masuklah, Nak," Amaria membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Udara segar memasuki ruangan, memaksa aroma harum yang menyebar di kamar untuk keluar.

Sheya menyuruh kedua pelayannya untuk meletakkan nampan makanan di atas meja bundar yang ada di tengah-tengah ruangan, setelah itu meminta mereka untuk menunggu di luar paviliun.

Ishaara Amaria memberi isyarat pada Sheya untuk diam, seakan menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Setelah bait terakhir didendangkanp Inarha, wanita tua itu lalu menghampiri suaminya dan menyela kegiatannya.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang