Akhirnya Tadakhua memberkati tanah ini dengan kehidupan! Musim kemarau sudah berakhir, musim tanam akhirnya tiba!
Aku membayangkan, awan-awan hujan ini tertiup sampai ke Shamasinai dan memberikan kebahagiaan yang sama pada penduduk desaku seperti penduduk ibu kota. Pasti menyenangkan melihat mereka semua berlarian keluar rumah dan menyambut datangnya hujan yang telah dinanti selama dua tahun terakhir.
Hujan mengguyur Shasenka mulai dari siang kemarin, hingga sekarang. Sesekali ada jeda, tetapi itu tak lama. Air akan kembali turun dari awan-awan gelap yang menaungi Shasenka. Karena pencahayaan yang kurang baik, lilin-lilin maupun lampu minyak segera dihidupkan di setiap sudut rumah, tak terkecuali di ruang jahit yang sedang kutempati bersama Aminirta dan Nyonya Suani.
Kami sedang membuat pakaian untuk para pelayan, yang nantinya akan dibagikan saat tahun baru. Sejauh ini, sudah ada tiga setel pakaian yang selesai kusulam. Berbeda dari gaun pelayan perempuan, pakaian lelaki cukup disulam di bagian lipitan pakaian. Saat sedang memusatkan perhatian pada gaun yang sedang kusulam, suara gaduh terdengar dari luar ruang jahit.
"Nyonya, Nyonya, Nyonya!" Seruan itu mengalihkan perhatianku, Nyonya Suani, dan Aminirta.
Dua pelayan muda seumuran Aminirta memasuki ruang jahit dengan membawa setumpuk kain dari berbagai jenis dan warna. Namun, yang paling menarik adalah ekspresi mereka yang terlihat pucat, kalut dan juga gugup.
Joori—pelayan berkepang satu segera meletakkan kain yang dibawanya ke salah satu kursi panjang yang dipinggirkan di dekat jendela. Sementara Muena—si pelayan muda yang rambutnya dikuncir dua, bergegas menutup pintu ruang jahit sebelum menghadap Nyonya Suani.
"Kalian ini kenapa?" Nyonya Suani berhenti menyulam.
Aku kembali menekuni kain sulamanku sendiri, tetapi tetap memasang telinga untuk mendengar cerita mereka. Joori dan Muena adalah dua pelayan kepercayaan Nyonya Suani. Meski usia mereka masih muda, tetapi mereka sangat cekatan dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.
Selain pelayan senior, kedua pelayan inilah yang sering menyampaikan informasi-informasi penting yang beredar di dalam rumah, seperti anak tukang kebun yang sakit, kisah cinta pelayan dapur dan tukang sapu, kemudian... keangkuhan dua pendoa yang menemani Efrani, dan masih banyak cerita-cerita menarik yang keluar dari bibir mereka.
Ehm..., mungkin aku harus menyebut informasi mereka sebagai gunjingan.
"Sepertinya Nona Efrani merayu Tuan Besar!" kata Joori.
"Kami mendengar erangannya di kamar Tuan Besar!" imbuh Muena.
"Nona Irtham dan Nona Yueza sampai berjaga di depan pintu kamar Tuan Besar dan tidak mengizinkan siapa pun masuk!" lanjut Joori bersemangat.
"Nyonyaaa...., anda harus dengar saat Nona Efrani menjeritkan nama Tuan Besar!" seruan Muena langsung disambut dengan tepukan di dahi masing-masing.
"Gadis-gadis nakal! Pikiran kalian benar-benar kotor!" tegur Nyonya Suani setelah menepuk kepala kedua gadis itu dengan pembidang di tangannya. "Ucapan kalian sangat cabul!"
Joori dan Muena cemberut sambil mengusap-usap kepala mereka, tetapi itu tidak menghentikan mereka untuk terus bercerita. Sejujurnya, aku malu mendengar omongan mereka yang blak-blakan mengenai hubungan Tuan Shui dan Nona Efrani. Tapi terlanjur kepalang basah, aku tetap menyimak cerita mereka.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Nyonya Suani meletakkan pembidang di atas meja dan menatap kedua pelayannya dengan heran. "Aku menyuruh kalian mengambil kain-kain yang sudah dipotong di kamarku. Kenapa kalian bisa berada di depan kamar Tuan Besar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasíaSeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...