Bab 2

2.7K 351 14
                                    

Shui menggertakkan gigi-geliginya, berusaha menahan sakit yang terlalu sulit untuk dijabarkan. Bahu dan kakinya memang terluka, tetapi itu luka yang masih bisa ditoleransi. Namun, sakit ini rasanya lain dari yang lain. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Darahnya seolah-olah dipompa keluar dengan serampangan. Kepalanya sedari tadi berdenyut-denyut tidak teratur, seperti ada tarikan lain yang ingin memisahkan antara ruh dan tubuhnya. Pandangannya memburam dan yang paling buruk, kedua kakinya mulai mati rasa.

Apa ini akan jadi akhir hidupnya?

Shui tidak rela kalau ia harus mati seperti ini. Ia tidak sudi mati sebagai persembahan para penyihir ini! Rasa mual menyerangnya tiba-tiba, membuatnya memuntahkan darah kental yang cukup banyak. Hawa dingin merangkak naik dari betis menuju ke paha. Napasnya mulai tersengal tidak beraturan dan pandangannya semakin gelap. Demi Tadakhua Penguasa Semesta, dia benar-benar akan jadi tumbal untuk kutukan jahat yang sebentar lagi diselesaikan penyihir-penyihir ini!

Shui memejamkan mata, melihat kembali kilas balik masa lalunya selama 25 tahun ini, dari masa kanak-kanak hingga menjadi seorang Jenderal seperti sekarang. Rasa pedih menyayat hatinya ketika ingat, bahwa ia masih belum berbaikan dengan adik lelakinya. Jika ia tahu bahwa nyawanya akan tamat hari ini, tentu sudah jauh-jauh hari ia akan memperbaiki hubungannya dengan sang adik. Sayangnya, ia sendiri tak yakin, apakah adiknya mau berbaikan dengannya. Mereka sudah saling mendiamkan selama beberapa tahun, terhitung semenjak 3 bulan pasca kematian Ayah mereka.

Sekali lagi, Shui muntah darah. Napasnya semakin sesak. Apa dia benar-benar akan mati di sini? Sebagai persembahan? Di sudut hati terdalamnya, Shui berharap anak buahnya datang menolong. Mereka terpisah (atau memang sengaja dipisah) saat berpatroli tadi. Beberapa penyihir menyerang kelompoknya dan memojokkannya hingga masuk ke hutan ini. Ketika sadar, Shui tahu bahwa hidupnya dalam bahaya. Efrani, pendoa yang selalu bersamanya, tidak ada di sisinya dan prajurit-prajuritnya tewas. Walau begitu, ia masih berusaha melawan meski akhirnya dibuat bertekuk lutut seperti ini.

"Berterima-kasihlah, Jenderal," salah satu penyihir berkata. Shui bisa melihat seringai di wajahnya di balik bayang-bayang tudung jubah yang menutupi kepalanya. "Nyawamu tidak akan sia-sia. Darahmu akan menjadi ganti hujan yang turun di tanah Shenou!" penyihir itu tertawa girang.

Shui terbatuk. Hawa dingin merambat ke perutnya. Namun, sebelum mantera penutup selesai diucapkan, kilatan logam yang terkena cahaya matahari meluncur anggun dari balik sesemakan di sekitar mereka. Sebuah anak panah melesat cepat dan menancap tepat di bahu kanan si penyihir yang baru saja bicara dengan Shui.

Shui terperangah. Ketiga penyihir yang lain juga terkejut. Pekik kesakitan melesat keluar dari mulut si penyihir yang terpanah sebelum akhirnya dia ambruk. Seketika konsentrasi penyihir-penyihir yang tersisa kacau-balau. Rapalan mantera mereka tidak lagi seirama dan cenderung berantakan, tapi mereka masih berusaha menyelesaikan manteranya. Kemudian satu panah lagi melesat menyerang penyihir lainnya, hingga rapalan mereka benar-benar terhenti.

Dua penyihir yang tersisa bergerak untuk menemukan si pengacau, sedangkan dua penyihir yang lain jatuh tak sadarkan diri. Shui mengerjap beberapa kali menyaksikan itu. Apa orang-orangnya datang menolong?

Pening di kepalanya menghilang dan tubuhnya berangsur hangat. Badannya yang tadinya sekaku batu kini pelan-pelan kembali lentur. Rasa mual yang berlipat-lipat pun menghilang. Ia mendapatkan energinya kembali. Shui berusaha berdiri meski kaki-kakinya belum cukup kuat. Kemudian, seseorang keluar dari balik semak-semak. Seorang gadis berbaju hitam lusuh yang mengenakan kerudung gelap berlari ke arahnya, lalu membantu melepas ikatan tangannya.

"Apa Anda bisa lari, Tuan?" gadis itu bertanya.

Butuh beberapa detik bagi Shui untuk memahami bahwa pertanyaan itu bukan ejekan. "Ya, aku bisa," ia mengangguk sambil membersihkan sisa darah di sekitar mulutnya, meski pada dasarnya perutnya kembali bergolak dan pening kembali menghampiri kepalanya.

"Ikuti saya, kita harus segera pergi dari sini," gadis itu menatapnya sejenak sebelum mengernyit miris.

Shui memperhatikan arah tatapannya dan mendapati bahwa bahu kiri dan paha kanannya terlihat mengerikan. "Ini bukan apa-apa," cetusnya. "Sebaiknya kita segera pergi."

Gadis itu sesaat terlihat ragu. Namun, dia lalu mengangguk. "Saya akan tunjukkan jalannya," ujarnya sebelum bergerak mendahuluinya.

(10 April 2017)

------------------------

Note:

Untuk The Conquered Throne, saya sengaja memakai pov 1 dan pov 3. Supaya tidak membingungkan kalian, saya sengaja memakainya berselang-seling. Berhubung bab ini terlalu pendek, saya akan menggunggah 1 bab tambahan lagi. Selamat menikmati cerita ini. ^^

Jangan lupa tinggalkan Vote dan komentar. :)

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang