Sementara itu, ular besar yang tadi datang ke kediaman Shui telah kembali ke hadapan majikannya. Kehadirannya menyela kegiatan si majikan yang tengah khusyuk berdoa di depan altar persembahan. Bunyi 'gedebuk' terdengar cukup keras ketika makhluk itu menjatuhkan diri di lantai kayu ruang doa. Namun, sang majikan tidak terburu-buru mengakhiri bacaan manteranya, sekalipun si Jugook merintih kesakitan di belakang punggungnya. Dia tetap melafalkan setiap bait kidung-kidung penyembahan dengan khidmat dan tenang.
Tak sabar untuk segera memberitahu majikannya, makhluk itu pun setengah menyeret tubuhnya ke arah pria berjubah hitam polos yang sedang bersimpuh di depan altar. Darah hitam tercecer di atas lantai kayu yang liat, menimbulkan bercak yang tak enak dilihat. Karena ruang doa tersebut tidak seberapa besar, makhluk itu tidak perlu menggeser tubuhnya terlalu jauh hingga mencapai sang majikan.
Sayangnya, pria itu tidak senang dengan tindakan si Jugook. Ketika ia menepis tangan kanannya ke belakang, Jugook itu pun terpental dan menabrak pintu ruang doa—yang anehnya mampu menahan si Jugook tanpa rusak sedikit pun.
"Siapa yang menyuruhmu menggangguku?!" Pria itu membentaknya.
Jugook itu meringkuk ketakutan. Nyalinya menciut, hingga dia memilih melingkarkan tubuhnya seperti gulungan tali. Kepala-kepala ular itu nyaris merapat dan melengkung ke tengah-tengah lingkaran, tak berani menghadapi si majikan yang kini berdiri dari tempatnya bersimpuh.
"Makhluk tidak tahu diri!" pria bermata gelap dan berambut kelabu itu memandangnya dingin. "Kau mengganggu ritualku hanya untuk mengabarkan kekalahan?" pertanyaannya tepat sasaran, hingga membuat Jugook itu menggigil ngeri.
Manusia yang satu ini memang tenang dan dingin, tetapi begitu marah, ia pun bisa melenyapkannya dalam satu serangan. Beruntung tepisan tadi tidak fatal, sehingga jiwanya tidak perlu musnah secara sia-sia. Jugook itu mendesis pelan, lalu menceritakan apa yang terjadi saat dia bertarung dengan Shorya.
Pria itu mendengarkan ceritanya dengan saksama, sebelum akhirnya menyuruh Jugook itu pergi. Tapi dia tetap di tempat dan mengemis pada majikannya supaya diberi persembahan agar bisa memulihkan diri. Luka-lukanya tak mau menutup, pun energi Shorya menggerogoti energinya sendiri hingga membuat jiwanya tersiksa. Namun yang dilakukan lelaki itu hanyalah mengibaskan tangan, tanda bahwa dia sebaiknya kembali ke dunianya sendiri.
"Pergi atau jiwamu hancur," Pria itu tidak segan mengancam si Jugook karena ular itu tak mau beranjak dari tempatnya.
Kemarahan yang terpancar dari mata makhluk itu berubah menjadi jeri. Akhirnya, tanpa mendebat, apalagi protes, makhluk itu pun lenyap dari pandangan majikannya.
Pria berambut kelabu pendek itu berdecak tak senang melihat ceceran darah Jugook yang mengotori lantai ruang doanya. Butuh waktu lama untuk membersihkan bekas darah, terutama darah Jugook. Aroma di dalam ruangan itu pun bercampur baur, antara wangi dupa yang menenangkan dan bau busuk darah yang menyengat.
Kerutan di dahi lelaki itu bertambah ketika ia mengernyit. Pelayan-pelayannya harus bekerja keras untuk membersihkannya. Ia tak suka kotor maupun aroma yang tidak sedap dan sebagian besar waktunya sering dihabiskan di ruang doa ini.
Pria itu berbalik, kemudian mendekati altar persembahan yang diterangi dua lilin merah yang menyala. Hanya itu satu-satunya penerangan yang menerangi ruangan ini. Di tengah-tengah altar, terdapar patung perunggu seekor serigala yang sedang menyeringai dan di depan patung tersebut terdapar dua mangkuk porselen yang masih kosong.
Pria itu mengambil botol bambu yang ada di dekat bantal lutut yang biasa ia gunakan untuk bersimpuh. Dituangkannya isi botol tersebut ke salah satu mangkuk, hingga cairannya memercik ke alas meja altar yang berupa kain sutera gelap bersulam emas. Warna cairan itu gelap, nyaris terlihat hitam pada suasana temaram seperti ini. Namun, dari baunya yang amis memualkan, siapa pun bisa menebak bila itu adalah darah segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasySeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...