"Apa kau akan tetap seperti ini?" Narashima menatap putrinya yang sedang menulis.
Gerakan tangan Meiyari terhenti sejenak mendengar pertanyaan tersebut, tapi wanita itu melanjutkan tulisannya. Perhatiannya tetap tertuju pada lembaran kertas di depannya, bukan pada ayahnya yang berdiri di seberang meja kerjanya.
Sebelumnya Narashima sudah memberikan kabar kalau akan mengunjungi putrinya. Namun sambutan yang didapatkannya adalah sambutan dingin seperti ini. Walau Meiyari menerima kedatangannya, tetapi putrinya lebih memilih melanjutkan pekerjaan dari pada mengajaknya mengobrol. Tapi... memang seperti inilah putrinya bila sedang marah padanya.
"Mei..., apa ini setimpal?" Narashima kembali bertanya. Sorot matanya tampak sayu. "Jika kau ingin ilmu, Ramma bisa memberikanmu guru. Jika kau ingin kekuasaan, Ramma bisa membantumu menggenggamnya. Bahkan, jika kau ingin bebas, Ramma bisa mengeluarkanmu dari sini."
Gerakan tangan Meiyari kembali terhenti mendengar ujaran ayahnya.
"Apa kau bahagia berada di sangkar emas ini, Nak?"
Wanita itu meletakkan penanya, lalu mengangkat pandangannya ke arah ayahnya. Walau sudah menginjak kepala lima, ayahnya masih terlihat sehat dan bugar. Namun, Meiyari bisa melihat keletihan dalam tatapannya yang dingin. Sebagian rambutnya yang telah memutih juga mengingatkan Meiyari, bahwa ayahnya tidak lagi muda. Seharusnya, sekarang ini ayahnya beristirahat di rumah sambil menikmati hari dan bermain bersama cucu-cucunya tanpa perlu dibebani masalah kenegaraan. Namun, nyatanya itu mustahil.
"Berada di sini adalah keputusanku, Ramma. Aku tidak menyesalinya dan aku tidak ingin pergi dari sini," jawabnya.
"Sampai kapan kau akan melindunginya?" Ketidaksukaan terdengar dari nada suara Narashima. "Dia bukan lagi anak-anak yang perlu kau topang."
"Jika aku pergi dan meninggalkan Rhei, maka dia akan menjadi bulan-bulanan kemarahan Ramma," Meiyari menyunggingkan senyum manis, yang membuat Narashima gusar. "Bila Ramma belum bisa melenyapkan kemarahan Ramma pada keluarga kekaisaran, maka selamanya aku akan berada di tempat ini."
"Kenapa kau begitu keras kepala?!" Narashima tidak bisa menahan kemarahannya lagi. "Apa yang dilakukan Rhei selama ini padamu? Dia hanya mengurungmu di sini, kan?!"
"Rhei tidak pernah mengurungku, Ramma. Aku memang lebih suka berada di Istana. Justru Rhei yang berusaha mengajakku keluar dan bahkan dia berupaya agar aku tidak merasa bosan di sini." Pandangan Meiyari tertuju ke arah deretan buku-buku berbahasa asing yang tersusun rapi di salah satu rak yang ada di ruang kerjanya.
Dibanding ruang kerja, sebenarnya ruangan ini lebih mirip seperti perpustakaan kecil, karena banyaknya rak-rak buku yang berderet di sepanjang dinding ruangan. Hanya ada beberapa pajangan kecil di salah satu rak, itu pun berada di sudut ruangan sebagai pemanis pemandangan ruang kerja permaisuri yang kaku.
"Rhei selalu membelikanku buku-buku baru yang sulit didapatkan di luar. Dia tidak pernah membebaniku dengan urusan rumah tangga istana, yang justru harus kuminta sendiri, karena itu sudah menjadi tanggung jawabku. Dan lagi, dia juga tidak berminat mengambil selir."
"Belum berminat," Narashima mengoreksinya. "Anak itu hanya belum berminat mencari selir. Bila suatu saat nanti dia bertemu dengan gadis yang menarik hatinya, dia pasti akan menjadikannya selir. Atau ketika ada kerajaan lain yang berniat berhubungan baik dengan kekaisaran ini, mereka tentu akan mengirimkan upeti, baik barang, harta, atau pun wanita. Semua tinggal menunggu waktu, Nak."
Meiyari tidak membantah ucapan ayahnya. Dia hanya menunjukkan senyumnya yang ringan.
"Sekalipun sekarang kau adalah Permaisuri, tetapi kau bukanlah pasangannya, Nak. Setiap Kaisar membutuhkan penerus dan hingga tahun ini, hubungan kalian berdua hanyalah sepupu yang akrab."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasíaSeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...