Jasmine by Yui Makino
=================================
Mereka sudah meninggal, dibunuh oleh pendoa yang seharusnya mengayomi kehidupan.
Aku sakit hati mendengar cerita Hessa.
Efrani menjebak mereka berlima saat situasi rumah sedang kacau. Efrani, Irtham, dan Yueza membawa mereka menuju gudang peralatan yang tak lagi digunakan di bagian timur rumah. Ibu, Hessa, dan ketiga adikku yang lain berpikir bahwa Efrani akan menyelamatkan mereka dalam penyerangan tersebut, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ketika musuh menyerang, mereka pun ikut dibunuh. Efrani membunuh musuh, maupun membunuh ibu dan adik-adikku. Hessa yang tidak mengira akan diserang, melawan dengan terburu-buru dan panik. Yang membuatnya beruntung adalah, mereka bertiga meninggalkannya yang tengah sekarat, karena mengiranya akan segera mati. Kemudian, sasaran Efrani beralih padaku.
Dari awal Efrani memang tidak menyukaiku, tetapi aku tidak mengira dia akan bertindak sekejam itu pada keluargaku. Apa salahku? Apa salah Ibu dan adik-adikku sampai dia tega membunuh mereka?
Apakah Miri Nayunira yang ada di balik hal ini? Apakah karena putri membenciku, dia ingin melenyapkanku dan keluargaku? Aku tak bisa membendung kecurigaan yang bermunculan dalam pikiran dan benakku. Jika aku dan keluargaku mati, maka dia bebas menjodohkan kakaknya dengan siapa pun, termasuk dengan gadis yang dicintai Shuiren. Bukankah Shuiren sudah memiliki wanita yang dicintainya?
"Yuuni...," panggilan itu membuat perhatianku teralih.
Hessa memasuki kamar. Dia mengenakan jubah panjang berwarna cokelat gelap, serta sepatu bot dari kulit yang tahan air maupun lumpur. Melihatnya sudah siap, aku pun berdiri dari kursi yang kududuki. Sama sepertinya, aku pun mengenakan setelan berupa kemeja panjang dan celana panjang serta sepatu bot. Untuk penangkal hujan, aku memakai jubah panjang berwarna biru gelap. Shuiren yang memberikannya padaku, yang kuterima setengah hati.
"Semua menunggu di bawah," ucapnya.
Aku mengangguk. "Ayo pergi."
Di ruangan bawah, aku melihat Shuiren bersama Miri Nayunira sudah menunggu. Meski perasaanku masih tidak nyaman ketika melihat keduanya, tetapi aku memaksakan diri untuk bersikap sopan dengan sepantasnya. Hessa juga melakukan hal yang sama. Dia berupaya membungkuk ke arah Miri Nayunira dan Shuiren meski ekspresinya sekaku patung batu. Shuiren berupaya tersenyum, meski senyumnya terlihat lemah. Sementara Miri Nayunira lebih terkesan kikuk. Kukira, gadis itu akan bersikap angkuh seperti sebelumnya, mengapa sekarang dia terlihat takut-takut begitu? Apakah Shuiren sudah memberitahunya bahwa pendoa yang dikirimkannya telah membunuh keluargaku?
Shuiren mengulurkan tangan ke arahku yang seharusnya kuterima, tetapi aku sedang enggan bermanis-manis dengannya, karena itu setelah menerima ulurannya sesaat, aku segera melepas genggamannya perlahan. Shuiren menatapku, tetapi aku tak menanggapinya. Aku tahu, tidak adil bila menumpahkan semua yang terjadi pada Shuiren, tapi... semua ini bermuara darinya. Aku butuh sendiri dan dia tidak mau membiarkanku sendiri.
"Naiklah," Shuiren kembali mengulurkan tangan untuk membantuku menaiki kudanya.
Tanpa banyak bicara, aku naik ke atas sana dan Shuiren duduk di belakangku. Rasanya tidak nyaman dengan posisi seperti ini.
"Kenapa tidak meminta untuk disiapkan dua kuda?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Beliau memacu kuda dan romobongan di belakang pun ikut bergerak.
"Lalu melewatkan kesempatan untuk bicara berdua denganmu?"
Aku tertawa pelan. "Kita bisa bicara di penginapan."
"Lalu kapan kau mau bicara denganku?" balas Shuiren tajam. "Setelah pembicaraan kita siang tadi, kau menolak bertemu denganku, bahkan kau melarangku memasuki kamar. Kau kira aku tidak tahu kemarahanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasíaSeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...