Bab 58. Houhan : Rintihan Hati

1.1K 154 32
                                    

Rouzen terbatuk-batuk kemudian memuntahkan darah untuk kesekian kalinya. Dia mengerang kesakitan sambil meremas dada kirinya. Rasa panas seakan membakar jantungnya, membuatnya menggeliat kesakitan di atas tempat tidur disaksikan Houhan, Kainan, dan Kiarin yang berusaha meredakan rasa sakitnya dengan cara apa pun. Kainan menyalurkan energinya ke tubuh Rouzen, supaya tubuh adiknya lebih dingin, tetapi bukannya mereda, Rouzen justru semakin kesakitan. Jeritannya terdengar memilukan, seakan-akan dia tengah dibakar hidup-hidup. Kiarin berulang kali menyeka wajah dan dada Rouzen dengan kain dingin, tetapi secepat itu pula kain itu memanas.

Houhan membuat ramuan untuk menurunkan demam Rouzen, tetapi putranya justru memuntahkan ramuan tersebut, beserta makanan atau pun minuman yang tadi sempat ditelannya. Hal itu membuat mereka harus kembali menyuapi Rouzen dengan air putih maupun bubur encer supaya pemuda itu tidak kelemasan. Namun, sekeras apa pun usaha mereka, wajah Rouzen masih saja pucat dan bibirnya pecah-pecah. Tinggal menunggu waktu sampai Rouzen tidak mampu menahan rasa sakit yang dideritanya.

Untunglah Muruthai datang di saat yang tepat. Ketika Houhan kehabisan akal untuk mengobati putranya, Muruthai datang ke kediamannya bersama bocah bermata biru – cokelat yang menenteng lentera minyak sebagai penunjuk jalan. Lelaki itu tidak melepas jubah gelapnya yang basah ketika memasuki kamar Rouzen. Kainan dan Kiarin menyingkir, supaya Muruthai lebih leluasa memeriksa Rouzen. Namun, penyihir itu sama sekali tidak menyentuh Rouzen untuk mengetahui apa yang terjadi pada putra kedua Houhan. Hanya dengan melihat, Muruthai tahu apa yang membuat Rouzen kesakitan.

"Kau melakukan tugasmu dengan baik," ujar Muruthai sembari meraih tangan Rouzen yang ada di atas dada kiri. "Walau pada akhirnya kau mendapat serangan yang cukup berat dari Shorya."

Kainan tercenung sesaat mendengar ucapan Muruthai. Dia mengingat saat di mana Rouzen bertarung di dalam paviliun dan dirinya harus membantu Numar untuk menjauhkan Inaike. Waktu itu, mereka pikir, Shorya beserta anak buahnya masih terjebak dalam ilusi yang mereka buat, tetapi mereka salah. Shorya berhasil lolos dan datang untuk mencegah mereka membunuh sang Iksook yang diketahui sebagai penghalang jatuhnya kuasa gelap di Shasenka. Rencana mereka hampir saja berakhir berantakan, andaikan Rouzen tidak berhasil membunuh sang Iksook.

"Shorya terlalu cepat menyadari ilusi tersebut, hingga dapat melepaskan diri dan membantu Inaike melawan kami," komentar Kainan.

Muruthai melirik sekilas ke arah Kainan, lalu berkata, "Jugook itu sudah hidup sangat lama. Tentu saja dia menyadari jebakan yang kalian buat. Walau aku tidak mengira, dia mampu lepas secepat itu."

Atas perintahnya, orang-orang Houhan mengubur mayat-mayat budak yang telah dikorbankan di luar Shasenka, tepat di empat titik arah mata angin. Ia ingin memancing Shorya serta anak buahnya keluar dari kediaman Shui dan menahan mereka dengan ilusi, agar orang-orangnya memiliki waktu yang cukup untuk menghabisi Iksook yang tinggal di kediaman Shui.

Muruthai tahu, tidak akan mudah membunuh Iksook itu. Mencermati dari cara Iksook itu membuat pelindung berlapis-lapis hingga menyulitkannya untuk melacak asal kekuatan yang menahan kutukannya, Muruthai mengerti, lawannya bukan sekadar pemuka agama desa yang biasa memberikan ceramah dan mengobati orang-orang sakit. Iksook itu mirip seperti para Imam yang terlatih di Imizdha, yang mengerti cara kerja mantera dan mampu membelokkan aliran mantera dan menangkal akibat dari kutukannya. Namun, satu hal yang membuatnya bertanya-tanya adalah, dengan kemampuan setinggi itu, kenapa Iksook itu berada di pinggiran Shenouka, bukannya ditarik ke Imizdha dan dijadikan pengajar?

"Khh...," Rouzen mengerang ketika tangan Muruthai yang menggenggam tangannya pelan-pelan terlepas. Samar-samar, ada semacam kabut putih berpijar yang tertarik keluar dari tubuh Rouzen.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang