Hari berikutnya, wanita itu datang kembali sesuai janji. Kali ini dia tak hanya membawa keempat anak buahnya, melainkan juga sebuah kereta kuda, lengkap bersama sang kusir. Penampilannya masih sama seperti kemarin, mengenakan seragam hitam di balik jubah gelap panjang dengan tudung lebar, serta keempat prajurit lain yang menutup separuh wajahnya dengan kain hitam.
Dengan gaya berpakaian seperti itu serta aura tajam yang kurang menyenangkan, mereka terlihat seperti pembunuh berdarah dingin daripada utusan perdana menteri. Ekspresi Jun langsung berubah buruk ketika mereka datang. Dia memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sikapnya, aku yakin Jun tahu sesuatu tentang mereka.
Kami menunggu di halaman rumah Shamasinaike Ornuk, di bawah tatapan prajurit-prajurit Jun yang mengawasi dari markas. Para penduduk yang tadinya berkumpul, karena heran melihat kami berada di sana, sudah membubarkan diri dan diminta melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Wanita itu turun dari atas kuda, kemudian mendatangi kami dengan tenang, diikuti keempat prajurit yang lain. Sesaat, dia sempat bertukar tatapan tajam dengan Jun. Ada semacam ketidaksenangan tersirat yang tampak dari keduanya. Hubungan tidak baik antara jenderal dan perdana menteri sepertinya mempengaruhi anak buah mereka pula. Setelah memberikan salam pada Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk, wanita itu beralih menatapku.
"Kupikir, aku harus memanggilmu seperti kemarin. Bagus kalau kau sudah siap. Kita bisa secepatnya berangkat setelah kau berpamitan pada keluargamu," katanya dingin.
Aku mengangguk pelan, lantas menoleh ke arah Jun yang berdiri di sampingku. Tatapan Jun masih tertuju pada wanita itu, sehingga aku terpaksa menarik lengan seragamnya supaya dia menoleh padaku.
"Sampai jumpa lagi, Jun," pamitku.
Tanpa diduga dia meraihku dalam pelukannya, hingga membuat Shamasinaike Ornuk terkesiap dan Iksook Inarha terkekeh geli. Cuma adik-adikku yang terpana menatap keberanian calon kakak ipar mereka memelukku.
"Jaga dirimu baik-baik," bisiknya.
Aku mengangguk pelan, kemudian melepaskan diri dari pelukannya.
"Kau bawa benda-benda yang kuminta semalam?" tanyanya setengah berbisik, sebelum aku benar-benar beranjak dari hadapannya.
Aku mengangguk sambil menepuk-nepuk buntalan kain yang kupeluk. Isinya tak lain adalah tiga pasang pakaian ganti, sekantung uang, serta belati.
"Apa kau menyimpan pemberian Shonja di sana?" Dahinya berkerut dalam.
Aku menggeleng sambil menarik sedikit tali kalungku. "Kugantungkan di sini."
"Bagus," Jun menghela napas lega. "Selain buntalan, di mana lagi kau menyimpan senjatamu?"
Aku menggigit bibir bawah, tak yakin menjawab pertanyaan Jun yang penuh kekhawatiran. Karena sudah mendapatkan jimat dari Inaike, aku merasa tak perlu membawa senjata lain untuk mempertahankan diri. Asal membayangkan Inaike dan memanggilnya, kemungkinan besar dia akan muncul dan membantu setiap kesulitanku.
"Kau tidak membawa senjata lain?"
Aku menggeleng takut-takut.
Jun terlihat ingin mengomel, tetapi dia berhasil menahan diri. Kemudian dengan gerakan cepat dan ringan, dia menyelipkan sebilah pisau kecil sepanjang satu jengkal ke tanganku. "Simpan di saku dalam luaranmu," bisiknya.
Aku mematuhinya tanpa banyak komentar, sekalipun heran dia terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap orang-orang perdana menteri. Kemudian aku beralih pamit pada ibu serta keluargaku. Ekspresi wajah ibuku tidak terlalu bagus, beliau terlihat sangat muram. Adik-adikku juga tidak banyak berkata-kata. Selesai menyampaikan salam perpisahan pada Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk yang mengantar kepergian kami, aku pun beranjak memasuki kereta. Namun, tatapan wanita itu membuat langkahku terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasySeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...