Iksook Inarha datang saat aku sedang membersihkan luka di bahu pria asing itu. Beliau datang bersama Kepala desa dan juga Hessa.
"Apa yang terjadi?" Iksook Inarha meletakkan kotak berisi peralatan pengobatannya di atas sebuah kursi kayu. Pria kecil berumur 50 tahunan itu mengamati keadaan pria asing itu dengan seksama. Beliau meraih salah satu tangan lelaki itu dan memeriksa denyut nadinya. "Ini tidak bagus," gumamnya, lalu menoleh ke arahku. "Siapa dia, Cucuku? Bagaimana kau bertemu dengannya?"
Aku menelan ludah. "Saya bertemu dengannya di Inairakhi," jawabku takut-takut, tahu bahwa Iksook Inarha maupun Tetua desa menyarankan kami untuk tidak masuk Inairakhi sembarangan.
Iksook Inarha maupun Tuan Ornuk----kepala desa kami---mengerutkan dahi sesaat, tetapi mereka tidak menyela.
"Saat itu saya sedang berburu, ketika menemukan dia....," aku menatap lelaki itu, "sedang dijadikan persembahan untuk ritual pengorbanan di dalam hutan. Ada 4 penyihir yang berusaha menghabisi nyawanya dan sepertinya rapalan mantera mereka hampir mendekati akhir, karena lelaki ini terus-menerus muntah darah. Namun, saya berhasil menolongnya di saat-saat terakhir."
Tuan Ornuk terbelalak mendengar ceritaku, sedangkan Iksook Inarha hanya diam----tampak memikirkan sesuatu.
"Ada yang mau mengutuk di daerah kita, Iksook," ujar Tuan Ornuk.
"Itu bisa diurus nanti," Iksook Inarha mengibaskan tangan sambil menatap kembali lelaki itu. "Yang terpenting adalah menyelamatkan jiwa orang ini. Sheya bilang rapalan mantera kutukannya hampir selesai, itu artinya setengah bagian lelaki ini telah ditumbalkan. Kalau pun rapalannya belum selesai, kutukannya tetap akan berpengaruh pada kesehatan fisiknya yang kemudian akan membahayakan nyawanya. Kita harus menyucikannya."
Iksook Inarha menoleh ke arahku dan Hessa. "Kalian berdua pergilah ke rumahku dan minta Amaria untuk menyiapkan peralatan penyucian. Sebelum malam tiba, kita sudah harus memulai doa penyuciannya."
Aku dan Hessa mengangguk. Kami lalu bergegas pergi menuju rumah Iksook Inarha yang terletak di dekat lapangan desa yang biasa kami gunakan bila ada perayaan maupun pesta panen. Tapi untuk 2 tahun ini, lapangan desa tak pernah ramai dengan kegiatan suka cita. Dua tahun ini, tempat itu selalu kami padati untuk berdoa pada Tadakhua, supaya Dia mau menurunkan berkah-Nya pada tanah kami yang kering kerontang.
Rumah Iksook Inarha berdekatan dengan balai desa serta rumah kepala desa. Bangunannya paling mencolok karena papan-papan dindingnya terdiri dari beragam warna, mulai dari merah, kuning, biru, dan hitam. Di papan yang berwarna kuning, ada rangkaian aksara yang sambung-menyambung membentuk kalimat yang mengelilingi bangunan rumah. Aku mengetuk pintu rumah Iksook Inarha dengan terburu-buru.
"Sheyana?" Ishaara Amaria mengernyit heran setelah membuka pintu rumah.
"Iksook Inarha membutuhkan peralatan untuk penyucian, Nyonya," ujarku. "Kami butuh secepatnya."
Seperti tanggap dengan keterburu-buruan kami, beliau kembali ke dalam rumah dan bergegas menyiapkan peralatan Iksook Inarha. Namun, untuk wanita berusia kepala 5 sepertinya, tentu sulit melakukan sesuatu dengan cukup cepat, sehingga aku dan Hessa pun ikut membantunya mengemasi peralatan yang dibutuhkan Iksook Inarha. Setelah mengucapkan terima kasih, kami buru-buru kembali ke rumah.
Aku sempat berpapasan dengan satu - dua tetangga. Mereka kelihatan heran melihat ketergesa-gesaan kami, tetapi aku sendiri tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan mereka. Sesampainya di rumah, aku melihat luka di bahu dan paha pria itu telah dibebat dengan kain. Kemudian, aku dan Hessa kembali membantu Iksook Inarha menyiapkan altar untuk penyucian. Tuan Ornuk menunggu di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu maupun ruang makan kami. Karena keadaan keluarga kami yang miskin, tidak ada apa pun di ruang tengah selain tikar lusuh yang biasa kami pakai untuk duduk atau pun tidur.
![](https://img.wattpad.com/cover/103643207-288-k181818.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasySeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...