Warning: 18+
Pada bab ini, ada sedikit selipan adegan dewasa. Mohon kiranya dipahami secara bijaksana.
------------------------------------
Sehari setelah ritual meminta hujan selesai, Shui akhirnya bisa beristirahat di rumah. Lelaki itu meliburkan diri selepas kegiatan padat selama tujuh hari berturut-turut. Sayangnya, sekalipun ingin rehat, nyatanya Shui tidak benar-benar bisa menikmati hari liburnya. Hatinya gelisah memikirkan ucapan adiknya tempo hari, sehingga pikirannya mulai menebak-nebak langkah apa yang akan dilakukan adiknya setelah mendengar ucapan Selir Mirhetta.
"Terima kasih sudah menjaga kami semua, Ammu."
Itu ucapan pertama Rhei ketika Shui menghadap dan melaporkan situasi keamanan sebelum sekaligus setelah ritual meminta hujan selesai. Mereka hanya berdua di ruangan kerja Rheiraka, kasim dan pengawal pribadi Kaisar berada di luar. Padahal seharusnya mereka berada di dalam ruangan ini dan menemani adiknya.
"Suatu kehormatan bagi saya mendapat tugas dari Shenka." Shui membalas ucapan terima kasihnya dengan bungkukan singkat.
"Ammu boleh mengambil libur untuk beberapa hari. Toh..., kegiatan pemerintahan pun belum bisa berjalan, karena mereka masih kelelahan setelah ritual ini," Rhei mengambil salah satu dokumen di atas meja dan membukanya.
"Terima kasih, Shenka."
Sekali lagi Shui membungkuk ke arah adiknya.
"Menurut Ammu, apakah ritual meminta hujan kali ini akan berhasil?" tanya Rheiraka tanpa mengalihkan tatapannya dari dokumen yang sedang ia baca.
Shui terdiam sesaat sembari memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya yang agak berbahaya. Sekilas pertanyaan Rhei terdengar biasa, tetapi bila tidak dijawab hati-hati, ia bisa menyinggung perasaan adiknya.
"Tadakhua selalu mendengar doa hamba-hambaNya, Shenka," jawab Shui.
Rhei melirik Shui. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. "Kau selalu mencari jawaban aman, Ammu. Katakan saja sejujurnya, toh... aku tidak akan terkejut dengan jawabanmu. Lagi pula, semua orang juga sangsi dengan tindakanku. Mereka tidak yakin hujan akan turun."
Shui menaikkan pandangannya, sehingga tatapannya bisa bertemu dengan tatapan muram adiknya.
"Tidak ada yang yakin, bahwa hujan akan turun," ujar Rheiraka.
"Hujan adalah kuasa Tadakhua. Dia yang menurunkan maupun menahannya," Shui berusaha menghibur adiknya.
Senyum Rheiraka semakin masam. "Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda akan hujan, Ammu. Apa kau lihat langit berubah mendung? Apa kau merasakan udara mulai dingin? Hujan tidak akan turun."
"Jika Shenka yakin hujan tidak turun, mengapa Shenka melakukan ritual meminta hujan?" Shui menegurnya. "Shenka harus punya keyakinan, bahwa hujan akan turun. Bahwa Tadakhua mendengar doa-doa Shenka. Melakukan sesuatu tanpa keyakinan, sama saja berjalan di atas jalan berkerikil ketika hari gelap."
Rheiraka tertawa mendengar nasehatnya. Kakak lelakinya tidak berubah banyak, tetapi dialah yang banyak berubah. Sikap Shui mengingatkannya saat usia mereka jauh lebih muda lagi, ketika kedua tangan mereka masih bergandengan dan yang mereka kenal hanya seputar taman serta halaman paviliun Yueyuunsui atau paviliun bulan milik Permaisuri.
"Kau tidak banyak berubah, Ammu," komentar Rheiraka.
Dan kau banyak berubah, batin Shui sembari menundukkan pandangannya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conquered Throne
FantasíaSeorang Jenderal Kekaisaran menikahi gadis desa yang tinggal di perbatasan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan, dan hanya ada rasa sakit. Mampukah keduanya bertahan dalam pernikahan tersebut? Atau... Bisakah mereka menyelami perasaan masing-mas...