Bab 29. Sheyana

1.2K 168 16
                                    

Shasenka semegah nama yang diberikan pendiri Shenouka. Yang terbaik—itulah artinya. Pada kenyataannya, Shasenka justru melampui apa yang kubayangkan. Bangunan-bangunannya yang saling merapat, kantor-kantor pemerintah yang luas, pusat-pusat perdagangan yang lebih besar dari pada Namashi, serta jalan-jalan yang lebih lebar dan bercabang-cabang. Saluran pengairan, yang merupakan cabang dari sungai Haryun, dibangun di setiap sudut kota menyerupai ranting pohon yang memiliki pangkal dan menyebar ke ujung-ujung dahan. Lebarnya lima belas kaki dan dalamnya setinggi orang dewasa.

Tiga buah sampan milik tukang perahu diikat pada tiang-tiang kayu kecil yang menonjol di antara papan-papan kayu selebar dua kaki. Dermaga itu kecil, paling hanya bisa menampung tiga sampai empat sampan milik tukang perahu. Namun, dermaga-dermaga seperti ini ada banyak sekali di setiap sudut bagian ibukota, menyatu dengan bagian taman peneduh yang dibangun di pinggir-pinggir kanal.

Kata Tuan Lokha, selain gerobak dan kereta kuda, biasanya orang-orang senang menggunakan transportasi air untuk berpergian ke sudut lain ibu kota. Melalui saluran air ini, semua tempat di Shasenka terhubung satu sama lain seperti jalinan jaring laba-laba. Sayangnya karena musim kemarau panjang, aliran air yang memasuki kanal terus berkurang hingga tersisa setinggi betis orang dewasa. Para tukang perahu pun kebanyakan beralih menjadi penarik gerobak atau kuli angkut, meninggalkan sampan-sampan mereka di tepi kanal seperti onggokan bambu kering.

"Nona ingin mencoba naik sampan?" Pertanyaan Tuan Ruruine mengalihkan perhatianku. "Saya bisa memanggilkan tukang perahunya." Dia menunjuk beberapa lelaki berpakaian sederhana yang duduk-duduk di taman.

"Tidak," Aku menggeleng pelan sambil tersenyum.

"Tapi dari tadi Nona memperhatikannya." Dahi Tuan Ruruine nyaris menyatu. Tatapannya beralih pada sampan-sampan yang bersandar di dermaga kayu yang ada di seberang tempat kami menunggu Nyonya Suani selesai berbelanja.

"Aku hanya suka melihatnya," Aku menggaruk pipi yang tidak gatal, merasa jawabanku sedikit rancu.

Sebenarnya, aku suka melihat taman dan dermaganya. Tempat itu mengingatkanku pada Shamasinai. Kanal ini seperti sungai Amuryan, sedangkan taman-taman di sana mirip hutan-hutan di tepian sungai. Dermaganya menyerupai pondok-pondok kebun atau ladang yang biasa dibangun di sekitar kebun sebagai tempat beristirahat, hanya saja ada atap dari daun-daun pohon kelapa yang telah dikeringkan. Aku rindu pada Shamasinai dan keluargaku. Yang lebih menyesakkan, aku merindukan Jun. Aku ingin sekali bertemu dengannya, melihatnya maupun mendengar suaranya.

Sudah seminggu aku tinggal di kediaman Tuan Shui. Setiap hari menghabiskan waktu hanya dengan makan dan tidur. Nyonya Suani selaku kepala pelayan kediaman Tuan Shui melarangku bekerja. Bahkan membereskan tempat tidur sendiri pun aku tidak diizinkan! Aku sempat protes, tetapi Nyonya Suani beralasan bahwa aku adalah tamu yang harus dijamu. Bila aku memaksa bekerja, maka beliau akan menghukum pelayan yang ditugaskan melayaniku. Kalau sudah begitu, tidak mungkin aku berkeras untuk beres-beres.

"Apa di Shamasinai tidak ada sampan?" Tuan Ruruine kembali mengerutkan dahi.

"Tidak ada sampan yang bisa digunakan di sungai Amuryan," jawabku. "Selain banyak bebatuan, jalur sungainya pun kurang aman untuk dilewati, sehingga kami lebih cenderung berjalan kaki atau memakai gerobak sapi atau kuda untuk bepergian."

Tuan Ruruine mengangguk-angguk paham. Beliau adalah salah satu prajurit Tuan Shui yang ditunjuk Tuan Shui untuk menjagaku dan Hessa bersama Tuan Lokha. Umurnya setahun lebih muda dari Tuan Lokha dan dia memiliki ekspresi sederhana yang menyenangkan untuk dilihat. Walau jarang bicara, tetapi Tuan Ruruine tidak pernah cemberut atau pun memasang tampang terlalu serius. Mimik mukanya begitu anggun, seolah-olah semua hal adalah keindahan yang patut dilindungi.

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang