Prolog

7.6K 425 20
                                    

Aku tidak benar-benar paham, kenapa bisa terjebak di situasi ini. Seingatku, beberapa bulan lalu, kehidupanku masih biasa saja. Aku masih harus pergi ke kebun untuk mengurus tanaman, pergi ke sungai untuk mencuci baju atau mencari ikan, atau masuk ke hutan dan memburu kelinci atau binatang lainnya. Aku tidak menyangka, keputusanku saat itu justru menempatkanku di posisi ini.

Walau berusaha bersikap anggun, aku justru merasa salah tingkah dan kaku. Punggungku terlalu tegak dan pastinya... ekspresiku pasti terkesan sedikit terpaksa. Sebagian besar orang-orang menatapku dengan kerutan di dahi mereka. Ada juga yang tampak membenciku. Hanya sedikit yang terlihat bahagia dengan apa yang kujalani saat ini.

Ibu dan adik-adikku jelas tersenyum bahagia melihatku berjalan dari ambang pintu menuju altar pernikahan. Sedikit dari kawan-kawan desaku datang atas undanganku dan mengucapkan selamat sebelum seremoni dimulai. Di altar pernikahan, bersama Imam yang akan memimpin jalannya pernikahan kami, Shuikan tersenyum tipis.

Dia mengenakan jubah hitam berkelim keemasan. Pakaiannya dipenuhi corak rumit yang berhiaskan aksara-aksara yang tak kumengerti. Lelaki itu tampak gagah dalam setelannya yang rapi. Dengan ketampanan, kemapanan, serta statusnya, seharusnya dia tidak memilihku sebagai pendampingnya. Ada banyak sekali wanita dari keluarga terkemuka yang rela menjadi pendampingnya.

Sayangnya, dia memilihku. Bukan karena alasan romantis tentunya.

Shuikan mengulurkan tangannya saat aku sampai didekatnya. Kuraih tangannya, sehingga kami sama-sama menghadap pada Imam yang berdiri di depan kami. Sang Imam mengucapkan puja-puji pada Dewa Tua Yang Agung, lalu melantunkan beberapa bait himne suci yang biasa dinyanyikan saat upacara-upacara khusus. Isinya tak lain adalah doa-doa untuk keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, serta keterikatan. Setelah menyampaikan nasehat-nasehat untuk kami berdua, sang Imam mengucapkan sumpah pernikahan yang kemudian kami tirukan.

Begitu Imam mengatakan bahwa kami sudah sah sebagai suami-istri, tepuk tangan serta ucapan-ucapan selamat riuh terdengar di Kuil Sakarte. Shuikan memandangku dengan rasa sayang yang dibuat-buat, menyebabkan perutku melilit dan terasa mual. Namun, aku berusaha membalas 'keramahannya' dengan senyum jatuh-cinta-setengah-mati yang terpaksa kupasang sampai pesta pernikahan selesai.

Kukira, menerima tawaran Shui adalah sebuah keberuntungan. Namun, kini aku berpikir, bisa jadi ini adalah kesialan, karena aku tidak sepenuhnya paham situasi apa yang sedang dihadapi Shui.

(24 Maret 2016)

------------------------------

Note:

Cerita ini merupakan pengganti dari The Throne Of Blood. Jangan tanyakan pada saya kenapa saya menggantinya, karena 2 cerita sebelumnya, entah kenapa saya kurang mantep feelnya. Jadi saya memutuskan untuk mengunggah cerita baru ini.

Kisahnya berlatar kerajaan seperti The Golden Ankhsok. Bedanya, mungkin cerita ini lebih dekat dengan kehidupan Istana, berbeda dari TGA yang melakukan perjalanan. Apakah akan ada sesuatu yang berbau aneh-aneh? Saya kurang yakin, entah kenapa intrik Istana sudah lebih dari cukup untuk menjadi latar cerita ini.

Bila ada yang pernah membaca Dongeng di Penghujung Hari : Part 11. Tanda Sebuah Ikatan, kalian pasti kenal nama Shuikan dan bisa menebak siapa nama ceweknya. Apa cerita ini ada hubungannya sama cerpen tersebut?

Sayangnya enggak. Cerita ini berdiri sendiri. Saya hanya pinjam nama tokoh-tokohnya. Selamat membaca. Terima kasih sudah mampir dan memberikan suara :D

The Conquered ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang