TPOL (10) "Tak Berniat Untuk Berkata"

674 120 51
                                    

Lebih baik Aku mundur.
Sebelum Kamu terlanjur membuat Aku nyaman.

"Dihukum juga?" tanya Ray, sembari mengangkat tangannya untyk hormat pada bendera Merah-Putih.

Yang ditanya hanya melirik sekilas.

Udah tau nanya!

"Gara-gara lo!" ucap Ify datar.

Kalau saja tai Ify tidak bangun kesiangan mungkin Cakka tidak akan meninggalkannya. Biasanya kakaknya ini akan menungunya walau ia terlambat namun, kali ini sepertinya Cakka ada kepentingan yang Ify tidak ketahui.

"Kok gue? Kan, lo sendiri yang nabrak gue," Ify bergeming, "Kenapa gak bareng sama majikan lo? Tadi gue lihat dia udah ada di kelasnya," sambung Ray.

Spontan Ify langsung membulatkan matanya.

Majikan siapa?!

"Siapa majikan gue?"

"Cakka."

Ify menghembuskan nafasnya kasar, ternyata cowok ini benar-benar menyangka bahwa dirinya pembantu dirumahnya sendiri? Rasanya ingin sekali Ify menonjok mulut Ray yang kalu ngomong suka asal jeplak.

Ya memang seperti itulah Ray.

Ray melirik Ify yang hanya bergeming, sebenarnya Ify ingin menjawab petanyaan Ray yang tidak masuk akal itu. Namun, ia urungkan kali ini ia sangat malas beradu mulut dengan cowok ini dan ia juga sekarang sedang menjalankan hukuman tidak mau hukumannya bertambah lagi lebih baik ia diam.

"Nggak usah malu sama profesi lo,"

Apaan sih?

"Yang penting pekejaan lo itu halal," ucapnya tersenyum ikhlas, "Gue juga janji deh, gue gak akan bilang siapa-siap kalau lo itu-"

"Gue bukan pembantu!" tegas Ify.

Ray mengangguk paham, mungkin saat ini lebih naik ia diam saja. Pikirnya, Ify masih malu dan belum siap untuk mengakui profesi dia sebenarnya kepada semua orang termasuk dirinya yang jelas bukan siapa-siapanya.

Sudah lebih dari dua jam Ify dan Ray berdiri di tiang bendera dengan sinar matahari yang mulai menusuk kulit mereka.

Ify merasa tubuhnya lemas dan kepalanya sedikit pening, beberapa kali Ify mengerjapkan matanya saat melihat benda-benda disekitarnya terasa ada dua.

Ray menoleh, seperti ada yang tidak beres dengan orang di sampingnya ini dan benar saja dilihat-nya wajah Ify tanpak pucat.

"Lo sakit?" tanya Ray.

Ify menggeleng lemas.

"Tapi muka lo pucet, mau gue anter ke UKS?" tawar Ray.

Ify terus saja diam, seperti menahan sesuatu. Ray menghela nafasnya dan kembali hormat pada bendera.

Ify berusaha menahan kakinya yang mulai bergetar serta keseimbangan untuk berdiri pun rasanya sudah tidak bisa dikendalikan. Penglihatannya juga sudah buram. Karena itu Ify sudah tidak kuat dan penglihatannya benar-benar gelap.

BRUK!

Ray dengan sigap membopong tubuh Ify dan langsung membawanya ke UKS yang jaraknya tak jauh dari tempat mereka dihukum.

*****

Ify mengerjapkan matanya berulang kali, serasa penglihatannya sudah kembali ia sedikit tersentak oleh seseorang yang kini sedang duduk di bawah ranjangnya. Entah sejak kapan dia di sini?

The Possibility Of Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang