TPOL (11) "Gerimis Hati"

682 105 30
                                    


Katanya, hujan kecil itu romantis.
Apalagi di saat bersama orang yang kita sayang.
Apa benar?

Rintikan air hujan membasahi kedua insan yang sedang menerobos kota Jakarta. Membuat si pengemudi motorpun menepikan motornya di sebuah Ruko yang sedang tutup itu. Cewek yang berada dibelakangnya ini sempat heran ketika ia menghentikan lajunya ini.

"Ngapain kesini?" tanya cewek itu. Membuat si pengemudi itu menoleh sekilas sebelum ia benar-benar turun dari motornya.

"Lo gak liat? Kalau ini hujan." Jawabnya, tepat saat dia turun dari motornya.

"Tapi kan hujannya kecil."

"Sama aja mau hujannya kecil atau besar, lama-lama baju bisa basah dan lo mau sakit lagi?" Cewek itu terdiam. Ada benarnya juga ucapan cowok itu. Namun, dari satu kalimat itu ada yang mengganjal dipikirannya. Sejak kapan cowok itu memperdulikan kondisinya.

Ngobrol bener aja belum pernah.

"Turun!" Titah cowok itu.

Cewek itu menggeleng, "Ga! gue mau pulang." Kekehnya.

"Iya nanti kita pulang, tapi kita berteduh dulu setidaknya lo nggak kehujanan yang membuat lo sakit lagi." Itulah kalimat kedua yang membuat cewek itu berpikir, lagi-lagi dia memperhatikannya.

Ray memperhatikan sekitar jalanan. Namun tidak mengubah posisinya yang masih berada di samping motornya. Seperti mencari sesuatu namun entahlah. Pandangannya kembali saat cewek itu mengajaknya untuk pulang.

"Ray, ayo pulang." Rengeknya.

"Turun dulu Ify, emangnya lo nggak laper apa?" Ucap Ray. Sebenarnya sih itu pancingan buat Ify. Apakah dia akan ikut perintah Ray atau malah justru nekat pulang sambil berlari-lari? Entahlah. Saat ini Ray hanya berdoa supaya cewek yang keras kepala ini nurut padanya.

"Apa?" tanya Ify, sok pura-pura nggak denger.

"Lo sekarang mendingan turun," jedanya. "Emangnya lo nggak laper apa?" Sambungnya.

Satu kata dari kalimat itu, membuat hampir Ify lupakan. Bahwa sekarang memang ia belum makan sejak pagi. Ralat, sejak ia pingsan disekolah itupun hanya dikasih air putih doang.

Tak disadarkan oleh Ify bahwa memang sedari tadi tangannya menempel dibagian perut. Ia merasakan perutnya saat ini seperti Rumah Hantu. Kosong tapi berpenghuni. Siapa lagi kalau bukan cacing yang terus mendemo.

Shit! Gue laper.

"Ah cacing, gimana sih lo? Nggak bisa di ajak kompromi banget." Gerutunya. Ray yang mendengar hanya terseyum miring menahan tawa kelakuan cewek yang hampir membuatnya jengkel.

"Gimana?" Tanya Ray. Ify mendengus kemudian mengangguk, bahwa Ify telah setuju ikut dengan Ray.

Kalau bukan karena cacing yang sudah mendemo di dalam perutnya, mana mungkin Ify akan ikut tawaran Ray.

Gapapalah demi cacing, kasian gue sama mereka.

Ray tersenyum kemenangan, "Gampang juga naklukin cewek macam lo," jeda Ray. "Cuma karena makanan aja lo langsung nurut." Lanjutnya dengan santai.

Ify membulatkan matanya. Ia tidak terima oleh ucapan Ray yang seolah-olah mengejeknya hanya karena demi makanan ia bisa luluh.

"Enak aja! gue itu hanya memikirkan betapa kasiannya cacing gue, yang terus mendemo di dalam perut gue kalau gue telat makan! karena gue terlalu sayang sama mereka." Jedanya. "Bukan karena lo ya, sorry aja." Ledeknya.

The Possibility Of Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang