empat puluh empat

1.4K 90 2
                                    

Hanya ada suara teriakan dan tangisan. Hanya itu yang bisa didengar. Walaupun ia tau sebenarnya banyak tangan yang menepuk-nepuk pelan pipinya dan menggoncang pelan tubuhnya. Tapi semua sentuhan tidak terasa. Kakinya dingin, sangat dingin ia butuh selimut.

"Athaya! Bangun thay, please.." Dimas, Athaya tau betul suaranya.

"Athaya ini gue Farrel, bangun Thay, bangun!!" teriak Farrel. Athaya mendengar nada frustasi, khawatir, cemas, dan sedih di suata Farrel.

"Athaya, ini mama, bangun nak.." Athaya sungguh ingin bangun dan bilang, "kenapa perduli?"

Suara yang sedari tadi lewat di kuping Athaya sekarang menghilang. Di ganti suara mesin dan bisikan seseorang, "bertahan nak, orang diluar sana mengkhawatirkan dan menyayangimu."

Khawatir? Sayang? Kenapa baru sekarang? batin Athaya.

Tubuhnya semakin dingin. Ia sudah pasrah, benar-benar pasrah. Rasanya ia ingin bilang ke Dimas, "Dim, gue yang bakal pergi duluan. Bukan lo."

Tubuhnya benar-benar dingin sampai rasanya membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir dan detak jantungnya melemah. Hanya rasa sakit di hati yang mungkin tidak akan hilang. Percakapannya dengan Dimas malam itu. Ia masih mengingatnya.

"Pasien ini benar-benar beruntung memiliki keluarga yang menyayanginya, bertahan nak, semua orang menunggu di luar" Athaya tau itu dokter yang akan mengobatinya. Hatinya teriris. Ia tidak mau sembuh ia mau pergi dan meninggalkan semuanya.

Dulu mamanya sangat sayang kepadanya. Sekarang mamanya benar-benar tidak perduli dengan Athaya. Dulu Dimas begitu menyayanginya dan tidak akan meninggalkannya. Sekarang Dimas akan pergi. Untuk apa bahagia jika akhirnya kebahagian itu lenyap digantikan kesedihan?

Angin yang superdingin meniup kulit Athaya. Semuanya berubah menjadi lebih gelap. Tidak ada lagi cahaya remang-remang yang ia rasa dari ruangan.

"Athaya?" seorang memanggilnya.

Suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Orang itu menghampirinya dan mengelus rambutnya. Elusan penuh kasih sayang, "Athaya mama kangen kamu nak"

Perempuan itu memeluk dirinya. Mama? Siapa orang ini?

"Dinda, maafin dia ya nak" sekali lagi perempuan itu memeluknya. Pelukan seorang ibu, Athaya bisa merasakannya. Perempuan itu tersenyum dan pergi. Athaya dibawa hembusan angin ke tempat yang sangat terang dan menyilaukan mata.

"Thay? Thay! DOKTER! ATHAYA SADAR!" teriakan Farrel memasukki kuping Athaya.

Dua hal yang Athaya rasakan sekarang; pusing dan kecewa. Seharusnya ia mati seharusnya ia sekarat lalu pergi ke surga. Ia benar-benar ingin cepat sadar dan berlari ke rooftop hanya untuk bunuh diri.

"Permisi dulu ya, saya periksa dulu" suara dokternya masih sama seperti yang waktu terakhir kali ia mendengar. Ia kira ini sudah puluhan tahun ia tidur dan akhirnya mati karena termakan usia.

Ia sangat fanatik dengan kematian. Karena hidupnya sudah mati sejak dulu. Ia hanya butuh kata mati yang sesungguhnya.

Ia membuka mata. Raihan, laki-laki itu menatapnya cemas, khawatir, sedih, senang, Athaya tau semuanya bercampur aduk.

"Athaya, kenapa tidurnya lama banget?" tanyanya, Raihan menangis, seorang laki-laki menangis di hadapannya.  "Lo bikin gue khawatir, bikin semua orang khawatir, lo sekarar waktu itu lo sekarat!" teriaknya.

"Aduh orang baru bangun malah di siarin sinetron alay" komentar Athaya. Raihan tertawa, "bener-bener ya lo"

Dimas. Dimana Dimas?

"Rai, Di-", "Athaya, mama khawatir sayang, kamu baikan? masih pusing?" Athaya menatap mamanya aneh.

Farrel mengisyaratkan Raihan untuk pergi. Raihan pun mengangguk, dan pergi dari kamar rawat Athaya. Mamanya memegang tangan Athaya yang dingin. Mamanya menangis, lalu memeluk Athaya hangat.

"Maafin mama, maafiin, mama gatau berapa maaf lagi yang harus mama ucapin biar kamu maafin mama" ucapnya.

Bagaimana pun juga, wanita di hadapannya ini adalah mama yang membesarkannya. Bagaimana bisa ia tidak memaafkannya? Walaupun ucapan maaf terasa ringan di lidah dan perih di hati.

"Ma, aku maafin, mama kan udah ngelahirin aku. Maaf kalau Athaya suka ngebangkang, ga nurut ucapan mama" ucapan Athaya membuat mamanya makin menangis.

"Athaya, mama mau ngasih tau sesuatu tapi janji jangan nangis" katanya. Ia bingung, jadi Athaya hanya mengangguk.

"Mama sebenarnya kakanya ibu kandung kamu, ibu kamu meninggal pas ngelahirin kamu, nenek bilang ke mama kalau ibu kamu meninggal gara-gara kanker," Athaya tidak bisa menepati janjinya.

"Tapi akhirnya mama tau cerita aslinya dan mulai benci sama kamu, mama sayang sama ibu kamu seperti Farrel sayang kamu. Tapi akhirnya mama sadar bahwa kematian itu takdir Tuhan dan bukan salah seseorang," Athaya memaksakan senyumnya selagi air matanya jatuh dengan deras.

"Mama, maafin Athaya, maafin Athaya sering ga nurut dan jadi anak bandel. Athaya seneng mama masih mau ngurus Athaya." kata Athaya.

Sudah sekitar dua minggu Athaya berada di rumah sakit. Ia sudah pulih meski luka di hati belum juga pulih. Rasa ingin taunya memuncak, ia penasaran kenapa Dimas tidak mengunjunginya bahkan tidak ada saat kedua matanya kembali terbuka.

Jujur, ia rindu dengan laki-laki yang membuat dirinya jatuh dan terbang di saat yang berbarengan.

Ia ingin bertanya tapi ia tidak mau merusak momen baiknya dengan keluarga dan teman-teman dekatnya. Kadang ia menangis sendirian di ranjang rumah sakit dan tidak ada yang bisa mendengar isakan tangisnya. Atau dengan nakalnya ia pergi ke rooftop rumah sakit untuk menangisi laki-laki yang ia rindukan itu.

Tidak ada orang yang mendengar jeritan rasa sakitnya. Fisiknya sudah hancur, bekas luka dan jaitan di kulitnya belum sembuh sempurna. Tapi yang lebih sempurna adalah luka di jiwanya yang dingin. Ia butuh sang penghangat. Si yang menciptakan dimensi kehangatan di dalam jiwa bekunya.

Dan saat ini ia kehilangannya. Kehilangan jalan pulang di hutan beku karena sibuk mencari dimensi hangatnya yang hilang.

hai gais, maap telat apdet
"telat banget bahlul dari jaman kapan wo"
iya tau maap
JAN LUPA VOMMENTS YO!

AthayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang