Chapter 10

10.5K 641 14
                                    

"Bawa aku ke ruangannya!" Dengan menahan sakit, aku berusaha duduk, cepat-cepat Kak Jordy melarangku dengan memegang kedua bahuku kuat. "Mana handphone-ku? Aku harus bertemu Aldo!"

"Rei, kamu belum sembuh benar!" bentaknya.

"Aku baik-baik saja, Kak! Aku ingin bertemu korban kecelakaan itu dan juga Aldo!" paksaku.

Kak Jordy menatapku sesaat, kemudian menatap Amanda dan mengangguk perlahan. Kak Jordy sangat mengenalku. Dia tahu bahwa aku akan melakukan apapun untuk bisa mewujudkan apapun yang kuinginkan. Dia tak punya pilihan selain membawaku menemui korban kecelakaan itu.

"Baik, tapi hanya sebentar. Dan untuk Aldo, biar nanti Kakak yang menghubungi dia. Kamu tenanglah dan istirahat. Ok?" kedua mata kak Jordy seperti sedang berusaha menembus pertahananku saat itu.

Aku pun mengangguk dan luluh.

Amanda keluar ruangan dan kembali beberapa saat kemudian membawa sebuah kursi roda. Mereka berdua membantuku turun dari tempat tidur dan duduk ke atas kursi. Kak Jordy mendorong kursiku setelah Amanda memastikan bahwa infusku sudah terpasang dengan benar. Sahabatku itu berjalan tepat di sampingku, hingga akhirnya kami sampai tepat di sebuah kamar perawatan yang dijaga oleh dua orang polisi.

"Kenapa ada polisi?" keningku berkerut penuh tanya. Bergantian menatap ke arah Kak Jordy dan juga Amanda.

Mereka berdua tak ada yang menjawabku. Amanda malah pergi menemui dua polisi tadi dan mereka mengangguk seperti mengizinkan aku dan Kak Jordy masuk. Aku terhenyak, ketika Amanda membuka pintu kamar perawatan laki-laki korban kecelakaan yang belum kuketahui namanya itu. Kondisinya begitu memilukan. Bunyi bip bip pelan dan berulang pada mesin elektrokardiogram, menandakan lelaki itu dalam kondisi stabil. Masing-masing tangannya di borgol di sisi tempat tidur. Seorang wanita paruh baya sedang membaca ayat-ayat suci Alquran tepat di samping kepalanya dan satu orang gadis kecil dengan rambut panjang terurai sedang memeluk boneka duduk di sudut ruangan, terlihat sedang sibuk memakan cokelat.

"Maaf, Bu kami mengganggu waktunya," kata Amanda memohon ijin.

Wanita itu menghentikan alunan indah ayat suci yang keluar dari bibirnya. Ia tersenyum. "Tidak apa-apa, Dok. Silakan!" Ia berdiri.

"Saya hanya ingin memeriksa kondisi putra Ibu," ungkap Amanda yang terpaksa berbohong.

Wanita itu mengangguk perlahan dan tetap tersenyum, tapi kali ini kedua matanya diam-diam menatapku. Mungkin beliau bertanya-tanya mengapa dokter yang merawat anaknya membawa seorang gadis dengan penuh plester di wajahnya, duduk di atas kursi roda yang didorong oleh seorang laki-laki berseragam militer.

"Namanya Reinayya, Bu. Dia Dokter di rumah sakit ini juga dan kebetulan dia sedang dirawat di sini karena –" ujar Amanda sambil memeriksa kedua mata laki-laki itu dengan senter kecil dari sakunya.

"Karena saya yang menabrak mobil putra, Ibu," sambungku yang disusul dengan tatapan syok dari semua orang di sana.

***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident, ya!

Jangan lupa vote dan comment  :)

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang