Chapter 84

3.4K 151 1
                                    

Tiga malam berikutnya adalah hari yang direncanakan Aldo untuk kembali mempertemukan aku dengan mamanya. Saat ini, aku sudah berada di dalam mobil Aldo menuju salah satu restoran, tempat di mana mamanya telah menunggu kami. Aldo sangat sadar, bahwa aku masih terikat pernikahan dengan Bagas. Tapi, ia rela menunggu sampai proses itu selesai sebelum akhirnya ia melamarku dan menikah.

"Al, kita ... eh, bisa ngomong dulu nggak?" tanyaku sebelum kami tiba di tempat tujuan.

"Ngomongin apa?"

"Soal hubungan kita."

Ekspresi bahagia yang sedari tadi terpancar di wajah Aldo menguap begitu saja. "Kamu nggak berubah pikiran kan"

"Aku nggak bisa, Al."

Aldo menepikan mobilnya. Sepertinya, ia tak ingin kecelakaan yang dulu pernah kami alami bersama kembali terulang.

"Aku nggak mengerti." Dia lalu bertanya, "Kamu merasa belum siap untuk menikah dengan serius tanpa pura-pura?"

"Bukan, Al." Aku menggelengkan kepala. "Aku hanya nggak bisa melanjutkan ini. Kita. I don't see us as part of my future."

"Kamu ngomong apa sih?" Suaranya terdengar gemetar dan kebingungan.

Tapi aku benar-benar ingin lepas dari jerat ketidakyakinan ini. "Sekarang atau nggak sama sekali," pikirku. "Seseorang pernah bilang padaku, cinta itu terkadang egois. Mencintai seseorang berarti memastikan hanya dia saja yang ada di hati."

Ekspresi wajah Aldo sontak berubah seperti ada seseorang yang baru saja meninjunya langsung di perut. Percakapan ini benar-benar di luar dugaan. Dia sepertinya tak pernah menyangka bahwa aku akan mengatakan hal seperti itu. Mungkin dia mengira, setelah mamanya memberi restu, semuanya akan baik-baik saja. Dia dan aku akan bahagia bersama. Dan sebentar lagi, aku akan dikenal sebagai Nyonya Aldo Ivanov.

"Aku merasa nggak bisa memberikan tempat itu untuk kamu, Al. Aku yang dulu mungkin bisa ... tapi aku yang sekarang ...." aku menghela napas panjang. "Dan kalau melakukan itu saja aku nggak bisa, bagaimana mungkin aku bisa menikahimu? Hidup bahagia selamanya bersamamu?"

Aldo mengerjap-ngerjapkan mata. Mungkin dia merasa seperti baru saja dibangunkan dari tidur nyenyak dan sekarang pusing karenanya. Setelah aku selesai mengatakan isi hati dan kepalaku, lelaki itu malah memilih untuk diam. Tapi justru itu yang menakutkan bagiku. Aku teringat saat Aldo meninju wajahku di dalam mobil karena menuruti perkataan papanya untuk keluar dari Indonesia bersama Bagas. Keheningan di dalam mobil ini membuat situasinya semakin tak bisa diduga. Penerangan temaram membuatku tak bisa memastikan dengan jelas seperti apa ekspresi Aldo saat ini. Bahkan, aroma yang menguar dari sosok itu pun mendadak terasa asing di penciumanku.

Aku benar-benar membenci situasi ini.

"Aku nggak habis pikir, bagaimana ceritanya hingga kamu bisa mengambil kesimpulan seperti itu," kata Aldo dengan suara serak. "Aku tahu betul apa yang aku inginkan, makanya aku sampai menepikan harga diri dan memintamu untuk menerimaku kembali. Aku mencintaimu dan aku pikir ... kamu juga begitu."

"Tapi aku mencintai orang lain, Al!"

"..."

"..."

"Aku nggak pernah mengira kalau cinta dan pernikahan palsu itu bisa mengubah pandanganmu dan begitu saja melupakan cinta kita."

"Semua terjadi begitu cepat." Aku menundukkan kepala. "Kamu yang menghindar dariku pasca kecelakaan itu terjadi. Kamu juga yang memperlakukanku dengan biadab karena tak bisa memutuskan nasibmu sendiri yang selalu diatur oleh papamu itu. Sejak saat itu aku menganggap hubungan kita nggak pantas diperjuangkan, aku yang terlalu patah hati saat itu, dan ada seseorang yang membutuhkanku justru membuatku merasa berharga lagi."

Satu tamparan keras mendarat di pipiku.

"Dan kamu baru bilang ini SEKARANG?!" tangan Aldo terkepal dengan tatapan ingin membunuhku. "Ketika semuanya berjalan seperti yang kita mau? Ketika mamaku sedang menunggu kedatanganmu karena beliau terlalu merasa bersalah dan ingin meminta maaf padamu?"

"A-aku benar-benar minta maaf, tapi pernikahan ini ... nggak akan pernah terjadi. Aku masih istri Bagas dan akan tetap seperti itu, karena seingatku, dia bahkan tak pernah sepatah katapun mengatakan ingin menceraikanku." Aku sudah tak tahan lagi. "Dan dia nggak pernah menyakiti fisikku sedikit pun, seperti yang kamu lakukan ke aku." Sambil berurai air mata, aku membuka pintu mobil dan menutupnya lagi dari luar dengan satu bantingan keras karena terlalu takut Aldo akan menghajarku habis-habisan. Beruntung, Aldo tidak berusaha mengejarku saat itu.

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku menoleh ke arah jalanan. BMW hitam Aldo pelan-pelan meninggalkan jalanan, sebagaimana dia juga meninggalkanku malam itu.

***

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang