Bagas akhirnya melepaskan tanganku, membiarkanku mengambil beberapa popcorn dan memakannya. Tapi jantungku yang berdentam-dentam di dadaku belum kunjung hilang. Aku benci harus merasakan ini setiap kali berada di dekat Bagas. Aku benci karena bingung juga harus berbuat apa untuk mengatasinya.
Menit demi menit berlalu dan akhirnya film itu usai sudah.
"Gimana?" tanya Bagas mengalihkan pandangannya menuju padaku.
"Aku benci musiknya, karena mirip musik pemakaman. Tapi sisanya, bagus-bagus aja sih. Untung juga ending-nya bahagia."
"Jadi kamu tipe happily ever after ala dongeng putri Disney, nih?"
Aku menganggukkan kepala.
"Kadang happy ending itu nggak realistis. Di dunia nyata, yang seperti itu jarang banget terjadi."
Kali ini, aku menghela napas panjang. "Aku setuju. Dan justru itu, aku bertahan terus dengan perasaan suka pada ending yang bahagia. Ending bahagia membuatku jadi berpikir optimis, sekaligus kasih harapan, bahwa seburuk apapun situasi yang sedang aku hadapi saat ini, pada akhirnya semua akan baik-baik aja. Ada pelangi setelah hujan. Malam yang sejuk menggantikan siang yang terik. What's bad about that?"
Aku kemudian mendengar suara tawa pelan Bagas.
"Ada yang lucu?" mataku memicing, membenci reaksinya.
"Sedikit," Bagas belum berhasil mengurangi perasaan gelinya. "Aku nggak nyangka, ternyata cewek keras kepala dan tegas kayak kamu ternyata berhati selembut salju."
"Rese!"
"Hahahahaha!"
Tawa Bagas perlahan-lahan mereda, ketika melihatku yang tak tertarik untuk ikut tertawa bersamanya. Entah mengapa pikiranku kembali tertuju pada Elena Jones dan suaminya.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Bagas menyadari perubahan ekspresi wajahku.
"Hari ini, aku menangani pasien yang akhirnya harus menyerah, karena kondisi yang nggak memungkinkan. Dan ... suaminya meminta untuk melakukan pengambilan sel telur sebelum kami melepas ventilatornya," ucapku lirih.
Bagas menatapku sesaat. Kemudian dia beranjak dari duduknya, menuju DVD player di meja rak TV. Ia mengambil sekeping DVD lainnya dari laci. Memasukkannya ke dalam player. Perlahan, mengalun I Know I Loved You Before I Met You milik Savage Garden pelan, sesaat kemudian.
Aku agak shock mendengar musik pilihan Bagas itu, tapi perhatianku sedikit teralihkan karena udara yang tiba-tiba terasa dingin. Aku melipat kedua tangan di depan dada.
"Kamu kedinginan?" tanya Bagas dengan nada penuh khawatir.
"He em," jawabku singkat.
Bagas berjalan cepat ke kamar dan kembali beberapa detik berikutnya membawa selimut tebal yang biasanya ada di atas tempat tidur kami. Ia menutupi tubuhku yang mulai menggigil dan bersin beberapa kali dengan selimut itu. Ia juga langsung duduk di sebelahku dan meraup segenggam popcorn yang masih tersisa. Aku mengajaknya mengobrol basa-basi tentang film yang kutonton di HBO beberapa hari lalu. Film romantis Me Before You. Terlepas dari plot ceritanya yang bisa dikatakan hampir mirip dengan kondisi kami, Bagas terlihat sangat menikmati obrolan itu. Yah, either that or the one who's talking.
Hingga tiba-tiba Bagas bertanya, "Masih kedinginan?"
"Aku nggak papa," jawabku kesal karena Bagas mengulang pertanyaan yang sama.
"Tapi kamu menggigil," katanya.
Aku mengambil segenggam popcorn, menyumpalkannya ke mulut Bagas. "Ba-wel," kataku yang kemudian tertawa jahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...