"Dasar perempuan tak tahu terima kasih!" makinya.
"Mama!" Aldo menarikku ke dalam dekapannya, tapi aku malah mendorong tubuh itu menjauh.
Pipiku seperti baru saja disengat ratusan lebah. Panas dan perih sekali. "Terima kasih Tante untuk semuanya, tapi saya punya beberapa bukti kuat yang bisa membuktikan bahwa semua keterangan yang telah kalian berikan itu salah!" Aku pun melangkah pergi dengan tubuh gemetar dan mata berkaca-kaca. Kepalaku berdenyut sakit sekali, tapi aku tak peduli.
"Lakukan semua yang kamu mau! Bagus sekali Aldo sudah menjauhi perempuan bodoh sepertimu!" ujar ibu Aldo kasar.
"Rei, tunggu!" Aldo mengejar dan memegang tanganku yang sudah berlari hingga ambang pintu.
"Apa lagi?!" bentakku sambil menghapus air mata.
"Aku minta maaf" Aldo mengusap pipiku yang mungkin memerah karena tamparan ibunya tadi.
Aku mengelaknya. "Sudahlah, Al. Aku tahu apa maksudmu, tapi bukan seperti ini caranya!" Setetes air mataku meluncur tanpa permisi, disusul tetesan lainnya.
"Rei, aku mohon biarkan semuanya tetap seperti ini. Aku terpaksa menjauh dari kamu sementara, agar tidak ada yang curiga dengan semua keterangan yang kubuat. Aku tak ingin kamu susah karena ini." Aldo menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
Kepalaku menggeleng pelan. "Ini salah. Salah, Al!"
"Aku lakukan ini semua karena aku mencintaimu." Mata Aldo berkaca-kaca menatapku.
"..."
"Lagi pula kita tidak mengenal siapa laki-laki itu. Harusnya kamu tidak perlu mempedulikan dia hingga seperti ini," lanjut Aldo mengusap kepalaku lembut.
"Al, dia itu manusia! Dia punya kehidupan dan kita nggak berhak merenggut kebahagiaan dia karena kesalahan kita!" Aku melepaskan tangan Aldo kasar.
"Oke, sekarang apa mau kamu agar berhenti mengancamku dengan membeberkan semua bukti dan kejadian sebenarnya?" Aldo menatapku lekat. Dia tampak begitu tulus.
"Cabut tuntutanmu! Cabut tuduhanmu! Cabut kasusnya! Aku mohon!" Lagi-lagi aku menangis. "Kamu hanya perlu melakukan itu ... hanya itu, Al."
Sejenak Aldo terdiam. Dia menundukkan kepala, lalu menatapku lekat. "Baiklah."
Sesak di dadaku langsung hilang ketika mendengar jawaban itu.
"Aku akan cabut semuanya hari ini," katanya lagi.
Hatiku terasa begitu lega, seperti batu raksasa yang tadinya menghimpit lenyap begitu saja.
"Happy?" tanyanya dengan senyum yang telah lama kurindukan. Wajah Aldo yang begitu tampan sedang menatapku melalui kedua mata elangnya.
Aku mengangguk cepat dan Aldo memelukku seketika itu juga. Ia bahkan mencium keningku. "Aku rindu padamu, Sayang," nadanya bergetar ketika ia mengucapkan kalimat itu. "Aku khawatir akan kondisimu, tapi nggak ada yang bisa aku lakukan selain menjauhimu untuk sementara waktu," suaranya semakin berat.
"Sudahlah, Al. kamu nggak perlu khawatir lagi sekarang, karena aku sehat dan segalanya akan baik-baik aja," bisikku yang membuat Aldo semakin mempererat pelukannya. Satu-satunya tempat yang paling kurindukan sejak kejadian pahit itu.
"Maafkan, Mama ya!" bisiknya sambil meletakkan telapak tangannya di pipi bekas tamparan mahadahsyat ibunya tadi.
Aku hanya diam dan menatap dari balik bahu Aldo, wanita yang disebut mama itu tengah mengintip kami dari tempatnya berdiri dengan tatapan penuh kebencian. Ia melengos pergi begitu saja ketika aku memergokinya di sana. Dan sungguh aku tak peduli lagi.
Aku rindu Aldo. Aku rindu segala tentangnya. Meski dia lebih sering marah, menyebalkan, dan bersikap dingin, tapi kehangatan serta ketulusan yang ia miliki tak pernah salah di mataku. Dan air mataku tak bisa kubendung lagi. Kubenamkan diri dalam hangat dekapannya. Meruntuhkan segala lelah, emosi, dan sakit yang selama ini kurasakan sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...