Bagas menatapku dengan garang dari atas tempat tidurnya. Seolah ia ingin membunuhku saat itu juga. "Kamu pikir, aku nggak tahu apa maksudmu, hah?" Rahangnya terbentuk jelas. Otot wajahnya menegang dengan tangan terkepal.
Aku ragu menatapnya, tapi itu harus kulakukan agar ia percaya padaku, bahwa yang kulakukan semua ini tulus, menebus rasa bersalahku. "Aku hanya ingin menyelamatkan hidupmu dan juga keluargamu."
"Itu hanya akan menjadi alasanmu padaku. Setelah kita melaluinya, maka kamu akan memulai semuanya seolah aku dan keluargaku adalah budakmu semata!" Bagas semakin berang.
"Untuk apa aku memperbudak keluargamu, Gas? Hah? Untuk apa?! Sama sekali nggak akan ada gunanya untukku. Asal kamu tahu ya, hidupku baik-baik aja selama ini sebelum mengenal kalian," jelasku mulai tersulut emosi karena kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Bagas. Ucapannya bagai mata pisau yang mengirisku tajam. Perih. "Aku tulus ingin menolongmu. Aku dokter dan aku bisa membantumu, terlebih setelah apa yang kulakukan padamu," tambahku mencoba merendahkan nada bicara dan mengatur napas.
"Nak, Ibu mohon jangan kau fitnah lagi Dokter Rei," ucap ibunya lirih. "Dia ingin menjagamu agar bisa tetap hidup. Agar bisa tetap menjaga Ibu dan Medina." Ibunya mulai terisak.
Bagas terdiam. Dadanya naik turun.
Kuamati lelaki itu lamat-lamat sambil mendengarkan bunyi monitor di samping kepalanya. Denyut jantung Bagas meninggi. Aku pun melangkah mendekat padanya, "Biar kuperiksa." Aku baru saja akan meletakkan stetoskop di dadanya, tapi ia menepis tanganku dengan kasar.
"Lakukan apapun yang kamu mau. Menikah denganku. Memberikan kehidupan yang layak untuk Ibu dan Adikku. Sembuhkan dirimu dari rasa bersalah. Tapi, aku mohon jangan pernah sentuh aku sedikit pun!" tegas Bagas tak melepasku dari tatapan kejamnya.
Tanganku gemetar. Hampir saja aku akan menangis, tapi semua emosi itu bisa tertahan. "Terima kasih. Aku akan mempercepat prosesnya," kataku setelah memastikan kondisi Bagas baik-baik saja dengan melirik monitor berbunyi bip bip itu.
Aku pamit pergi setelah sekilas menatap ibu Bagas yang menatapku nanar, tetapi masih tersenyum hangat.
Amanda menyambutku di luar ruangan. Bukan sambutan yang menyenangkan, karena sorot matanya seolah ingin mencincangku hidup-hidup dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Coba kasih aku penjelasan yang sedikit masuk akal, Rei. Sedikit aja agar aku bisa menahan diri untuk nggak menyeretmu ke bangsal kejiwaan!"
Aku mendengus, mencoba menertawakan wajah Amanda yang justru terlihat konyol ketimbang galak di hadapanku itu. Kakiku melangkah, berhenti dan duduk di kursi yang berada tepat di samping gadis itu.
"Pertanyaan apa yang harus aku jawab?" tanyaku pelan.
"Dari mana kamu bisa mendapatkan uang untuk membayar semua biaya operasi Bagas? Operasi lelaki itu beda dengan membeli sebungkus permen, Rei!" tiba-tiba emosi Amanda meluap. "Kamu mau minta Jordy? Kamu yakin dia setuju? Taruhan demi apapun, dia nggak akan pernah setuju dengan rencana gilamu ini, Sayang!"
Dengan terlontarnya kalimat itu dari bibir Amanda, maka habislah sudah kesabaranku.
***
Terima kasih sudah membaca Married by Accident.
Jangan lupa vote dan comment, ya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...