Di rumah ini, aku tak lagi sendiri. Sejak berlangsungnya pernikahanku, di hari yang sama pula Bagas, Ibu, dan Medina tinggal di sini. Harusnya lengkap dengan Kak Jordy, tetapi ia sudah harus kembali bertugas. Entahlah, sepertinya dia memang sengaja mencari alasan agar tak perlu berlama-lama berada di dekatku.
Tak ada yang istimewa dengan hari pertama pernikahanku. Bahkan, jika ada yang bilang bahwa malam pertama itu sejuta indahnya, mereka salah! Karena itu semua tak berlaku bagiku.
Bagas sudah terlelap di atas tempat tidurku. Ia tak pernah sepatah kata pun bicara padaku. Aku tak lebih dari sekadar patung di matanya, malah kupikir seekor cicak masih bisa mendapatkan perhatiannya ketimbang aku yang sudah berlabel Nyonya Bagas Orlando. Bukan aku sengaja untuk tidak menemaninya tidur malam ini, tetapi karena aku sedang membereskan segala perlengkapan untuk kubawa esok pagi menuju Pennsylvania. Tadinya, aku ingin membantu Bagas mempersiapkan barang-barangnya juga, tetapi ia menolak dengan tepisan tangannya yang lagi-lagi tanpa ucapan sepatah kata pun.
Perlahan, aku mengeluarkan notes bersampul abstrak dengan warna pelangi dari dalam nakas tepat di samping kepala Bagas. Bukan karena takut dia terbangun, tetapi aku hanya tak ingin ia terganggu karenaku. Cukuplah aku yang merasa bersalah karena telah memporak-porandakan hidupnya. Jangan lagi daftar kebenciannya bertambah panjang, hanya karena aku terlalu napsu membuka laci.
Oh, Tuhan, aku tahu dosaku banyak, tapi mengapa di saat seperti ini, perasaanku malah terus tertuju pada Bagas yang ternyata memiliki tulang hidung tinggi beserta alis tebal bak semut berjajar menggiring gula?
Kuhela napas panjang. Aku memilih duduk di sudut ruangan kamarku itu dengan notes di tangan. Beberapa daftar sudah kutandai. Hanya tinggal beberapa benda seperti surat-surat yang kutulis untuk Mama, sepatu dan tas yang belum kusiapkan. Bahkan ada beberapa benda lain yang sepertinya lebih baik aku tinggalkan saja. Cukuplah aku membawa sepasang collar stiletto Jimmy Choo, sepasang black Mary Janes, Converse abu-abu dekil kesayanganku, dan maroon Timberland yang akan kukenakan besok dalam perjalanan. Dan entah mengapa bayangan keempat sepatu ajaib andalanku itu tetap saja tak bisa mengalihkan perhatianku dari sosok suami hasil kecelakaanku ini.
Kuberanikan diri untuk mendekatinya. Napasku tertahan. Saking takutnya aku membuatnya terbangun, aku bahkan rela menghentikan napasku sendiri!
Wajah Bagas terlihat begitu teduh. Ia tidur dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Entahlah apa itu hanya perasaanku saja atau dia sengaja mengecohku. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menatapnya saat ini. Tuhan memang Maha Segalanya. Baru beberapa minggu lalu, aku masih tergila-gila akan sosok Aldo si kulkas nol derajat dan sekarang aku malah sudah menjadi seorang istri dari lelaki kulkas minus nol derajat. Parah!
Kulit Bagas tak seputih Aldo, tetapi membuatku tergelitik untuk menyentuhnya. Kulitnya cukup memesona untuk ukuran laki-laki. Putih meski tak seputih pualam. Bibirnya biasa saja, tetapi terlihat begitu pas dengan bentuk rahangnya yang kokoh, lengkap dengan belah tepat di tengah dagunya ala Laudya Chintya Bella. Oh, satu lagi yang membuatku iri. Bulu mata Bagas sebelas dua belas mirip bulu mata palsu anti badai milik Syahrini. "Berbahagialah kamu, Gas, tak dilahirkan menjadi seorang perempuan. Bisa dipastikan kamu sudah jadi bahan bully-an di kalangan kids jaman now yang menuduhmu melakukan operasi plastik, karena wajahmu nyaris sempurna sejak lahir," ucapku lirih sambil terkikik sendiri.
Tiba-tiba Bagas membuka matanya ala adegan film vampir asal Tiongkok yang bisa dengan seenak udel-nya bangkit dari kubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...