Save-A-Lot, food stores paling dekat dengan rumah, tampak sepi-sepi saja pagi itu. Sayup-sayup lagu The Autumn Leaves milik Nat King Cole terdengar dari speaker yang dipasang di empat sudut area dalam supermarket berdominasi warna merah dan biru itu.
The falling leaves drift by the window
The autumn leaves of red and gold
I see your lips, the summer kisses
The sun-burned hands I used to holdBagas mengambil kereta berbentuk keranjang besar berwarna merah di dekat meja kasir, lalu berjalan bersisian denganku. Pembagian tugas kami sudah jelas. Aku mencari barang berdasarkan daftar yang dibuat Ibu dan Bagas mendorong keranjang belanjaannya. Satu per satu belanjaan masuk keranjang. Ya sandwich slices-lah, merica bubuk-lah, keju cheddar-lah, dan masih banyak lagi.
Sambil menelusuri lorong Save-A-Lot, kami bertukar cerita tentang hal-hal pribadi. Tentang mendiang Mama, misalnya. Aku berusaha tak terdengar emosional ketika harus menceritakan ulang kejadian nahas yang menimpa Mama dua tahun lalu itu. Tapi, aku masih merahasiakan bagian Brian darinya. Bukannya aku ingin menyembunyikan itu, hanya saja aku tak ingin merusak suasana hatiku sendiri dengan kisah tentang si Brengsek itu. Aku pun juga bercerita tentang betapa gigihnya Kak Jordy menjalani perannya sebagai pengganti orangtua kami, meskipun kadang sikap overprotective-nya membuatku kesal.
"Itulah keluarga," kataku di akhir cerita. "Sekesel-keselnya aku sama kelakuan Kak Jordy, tetap saja nggak akan bisa membuatku berhenti menyayanginya."
Bagas berjalan mendorong kereta belanjaan kami sambil mendengarkanku seksama.
"And how 'bout you?" tanyaku yang tak mau berlama-lama dengan perasaan jengah itu, mencoba mengalihkan topik pembicaraan dan balik bertanya tentang keluarga Bagas yang selama ini selalu menjadi misteri.
Ada setitik keengganan di wajah Bagas pada awalnya, tetapi tak lama kemudian dia membuat pengakuan. Selama ini, Bagas menduduki posisi direktur yang jelas membuatnya leluasa mengawasi cashflow di perusahaan hasil rintisan ayahnya itu. Semua laporan keuangan setiap proyek yang dijalankan oleh perusahaan, termasuk yang dikepalai oleh Om Santoso, adik ayahnya.
Saat mengaudit laporan keuangan suatu proyek besar yang tengah mereka lakukan saat itu, Bagas menemukan bahwa ada sekitar 40 persen dana proyek yang terpakai, tapi tak bisa dipertanggungjawabkan oleh Om Santoso. Awalnya, Om Santoso mengatakan, bahwa itu adalah kekeliruan bagian keuangan. Tapi, Bagas terus mengusut soal itu dan mendapati bahwa dana proyek itu mengalir ke rekening Om Santoso. Ada satu titik di mana Bagas punya firasat, beliau tidak melakukannya sekali itu saja.
Sebulan lebih, Bagas melakukan audit ke semua laporan proyek yang pernah dikepalai oleh Om Santoso. Semuanya memiliki benang merah yang sama, Om Santoso menggelapkan uang perusahaannya. Dan kalau ditotal, mencapai hampir satu triliun rupiah. Rupanya, ada orang yang melaporkan itu pada Om Santoso. Entah bagaimana caranya, orang brengsek itu melakukan segala tipu muslihatnya agar tampak seolah Bagas ditipu oleh klien. Memang Bagas belum bisa membuktikannya, tetapi ia yakin benar bahwa Om Santoso adalah dalang di balik kasus itu. Sayang, ia belum memiliki waktu yang tepat mengusut tuntas karena tragedi kecelakaan yang menimpanya.
"Maaf," ucapku sambil membawa sebuah wadah berisi corndog hangat berlumur saus sambal dan keju mozarella yang kubeli di sebuah food truck tepat di samping Save-A-Lot, setelah kami selesai berbelanja.
"Seandainya aja ucapan maafmu itu bisa kujadikan uang, mungkin aku bisa keliling dunia karena saking seringnya kamu ngomong begitu," ujar Bagas santai sambil menggigit corndog-nya.
Aku hanya bisa sedikit menarik bibir, melesungkan senyum tipis. "Ya, seandainya."
Hening sejenak.
"Meskipun hidupku tak sesempurna dulu, tapi sekarang aku menjalani semuanya dengan gembira kok," kata Bagas. "Mungkin, dengan kembali bekerja di tempat saudara tirimu itu bisa membuatku makin bisa lebih bersyukur, meskipun nggak menutup kemungkinan aku tetap akan collapse suatu hari nanti, tapi paling nggak saat itu terjadi pun, aku nggak menyesali hidup yang udah aku jalani selama ini. Aku udah melakukan banyak hal yang selama ini hanya bisa aku impikan, yang ingin banget aku lakukan tapi nggak pernah kesampaian. Sebelum kecelakaan itu, aku udah ngerasain bungee jumping, kayaking, backpacking seputaran Asia, makan sate belalang, dan sekarang tinggal di Amerika," ucapnya.
"..."
"Sekalipun aku kehilangan segalanya, bahkan sebelah kakiku, tapi aku putuskan untuk berhenti menyesali semuanya."
Ucapannya terhenti ketika tatapannya tertuju pada bibirku. "Mulutmu belepotan tuh."
"Mana?" tanyaku sambil mengusap mulutku asal dengan punggung tangan.
"Bukan di situ. Sini aku bersihin."
Bagas mengusapkan jempolnya di bibir bawah milikku. Pelan, tapi menyiksa.
apasku sampai tercekat karenanya. Dan Bagas pun mendapati dirinya menikmati saat-saat melakukan itu padaku. Bahkan, aku yakin meskipun jelas-jelas noda saus sudah tak ada di sana, tangannya masih belum mau berhenti mengusap permukaan lembut bibirku.
Lagi. Dan lagi.
"..."
"..."
"Thanks, I guess?"
Bagas menelan ludah. "Sama-sama," ujarnya, kemudian menggigit habis corndog-nya sambil memalingkan wajah dariku.
Sementara aku?
Ingin pingsan.
***
Terima kasih sudah membaca Married by Accident.
Jangan lupa vote dan comment, ya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...