Chapter 11

7.9K 501 29
                                    

Wanita itu menatapku sesaat. Ia terkejut, tapi ajaibnya ia kemudian tersenyum. "Oh, begitu." Dadanya naik turun dengan mata yang kemudian terlihat sayu. "Maafkan putra saya, karena telah membuat Dokter terluka," katanya.

Aku terhenyak. Apa-apaan ini? aku benar-benar tak mengerti.

"Uhm ... seharusnya putra Ibu dirawat olehnya, karena meskipun dia gadis yang tak bisa diam tapi dia adalah seorang dokter yang hebat di sini. Oleh karena itu, dia ingin melihat langsung kondisi putra Ibu," lanjut Amanda dengan panjang lebar dan berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Saya yakin dokter Rei adalah dokter hebat seperti apa yang dokter Amanda katakan. Saya bisa melihat itu dari kedua matanya." Wanita itu tersenyum begitu tulus padaku yang membuatku semakin kebingungan.

"Putra Ibu dalam kondisi yang bagus. Semoga dia cepat pulih dan tersadar." Amanda memasukkan senternya kembali ke saku jas putihnya.

"Tidak ada masalah kan, Dok?" kedua bola mata wanita itu menunjukkan ekspresi cemas.

"Alhamdulillah tidak ada, Bu. Semua bagus. Jantungnya juga stabil, meskipun pada akhirnya nanti Bagas akan butuh alat-alat seperti ini untuk menopang kondisinya selama beberapa waktu."

"Bagaimana kondisinya?" tanyaku yang sudah dihantui berjuta tanda tanya.

"Ibu, cokelatnya habis," celoteh gadis cilik di sudut ruangan yang membuat kami terkesiap. Wajahnya penuh cokelat tapi, dia tampak begitu manis.

"Nanti Ibu belikan lagi ya, Nak, tapi Medina makan nasi dulu. Iya kan, Tante Dokter?" jawab wanita itu sambil memeluk putri kecilnya dan mengusap sisa cokelat dari mulutnya dengan tisu yang sempat ia raih dari atas meja.

"Benar yang dikatakan sama Ibu. Medina makan nasi dulu ya, nanti Tante Dokter yang akan kasih cokelatnya. Setuju?" Amanda berlutut di hadapan Medina dengan begitu ramah.

Medina mengangguk dan membuat poninya yang rata di dahi itu bergerak lucu.

"Anak pintar." Amanda mengusap kepala Medina dan kembali berdiri. "Kalau begitu kami pamit ya, Bu!"

"Tapi—" aku protes tapi Kak Jordy sudah memutar kursi rodaku dengan cepat. Amanda juga menyusul kami untuk membawaku keluar dari sana, tanpa menjawab pertanyaanku.

Kukepalkan tanganku erat untuk menahan emosi, karena tidak mungkin aku berteriak protes di hadapan Medina dan ibunya. Aku hanya bisa diam sambil menggigiti bibir hingga kami bertiga kembali di dalam ruangan perawatanku.

"Tolong kalian jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Lalu apa yang terjadi dengan Aldo?" semburku.

"Rei, kamu tenang dulu ya! Kami pasti jelaskan semuanya, tapi tolong kamu jangan emosi seperti ini," bujuk Kak Jordy.

"Bagaimana aku bisa diam tanpa emosi melihat orang yang menjadi korban kecelakaan karena ulahku itu kondisinya begitu mengenaskan?! Aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga ia harus diborgol dan dijaga ketat oleh dua orang polisi? Mereka itu buta? Laki-laki itu bahkan nggak mampu membuka matanya sendiri! Lagi pula, apa salah dia? KAMI YANG MENABRAK MOBILNYA DAN AKU YANG MEMBUAT ALDO KEHILANGAN KONSENTRASINYA!" teriakku dengan berurai air mata.

Kak Jordy dengan cepat memelukku erat. "Ssstt, kamu tenang dulu ya, Sayang!"

"Aku tidak akan pernah bisa tenang sebelum kalian menjelaskan semuanya!" seruku diiringi derasnya air mata.

"Rei—" Amanda mengusap punggungku dengan mata berkaca-kaca. Ia seolah bisa merasakan kepedihanku. "Aku akan menceritakan semuanya, tapi semoga semua ini tidak membuat kamu semakin terbebani."

Kuusap air mataku sendiri dengan punggung tangan, kemudian kugenggam erat tangan Amanda tanda bahwa aku kuat mendengar seluruh ceritanya.


***



Terima kasih sudah membaca Married by Accident, ya!

Jangan lupa vote dan comment  :)

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang