Chapter 62

4.6K 289 6
                                    

Entah kenapa aku jadi secanggung ini, sejak Bagas memergokiku dengan Josh. Sepanjang perjalanan pulang, kami sama sekali tak bersuara. Entah aku yang terlalu tegang atau ketakutan, karena reaksi Bagas. Bahkan, sudah satu jam sejak kami tiba di rumah aku tetap belum mengajaknya berbicara. Bagas juga tidak menanyakan padaku ingin makan apa untuk malam ini. Ia sudah sibuk di dapur, ketika aku keluar dari kamar setelah mandi.

Dua piring nasi goreng telah tersaji di atas meja makan. Salah satu di antaranya sudah hampir habis dilahap oleh Bagas. Sementara aku masih berdiri mematung, di samping kulkas. Bagas beranjak dari duduknya sambil membawa piringnya untuk dicuci. Aku pun beringsut duduk dan menikmati nasi goreng buatan suamiku itu dalam diam. Perutku yang sejak tadi keroncongan seolah sedang berpesta kembang api, ketika sesendok penuh nasi masuk ke dalam mulutku. Warna nasi yang merah karena cabe, berpadu dengan garam dan aneka bumbu lainnya, benar-benar berhasil membuat liurku terangsang untuk memenuhi rongga mulut.

Bagas berjalan begitu saja melewatiku, setelah ia mencuci piring dan meletakkannya di di atas rak. Ia masuk ke dalam kamar. Namun, tak lama kemudian ia keluar lagi dengan sesuatu di tangannya.

"Cepat kesini kalau makananmu sudah habis," kata Bagas yang membuatku tersedak.

Kuraih gelas di meja dan meneguk airnya cepat untuk meredakkan batukku.

Bagas menoleh melihatku. "Kamu nggak apa-apa?" tanyaya.

Aku menggeleng cepat dan tergesa menghabiskan sisa nasi goreng di piringku. Setelah mencucinya, aku mendekati Bagas perlahan. Aku baru sadar, ternyata Bagas berniat menonton film dari DVD yang tadi ia bawa dari kamar. Aku menahan diri untuk tidak berkomentar. Tapi ketika melihat sampul DVD film yang dipilih Bagas adalah film yang diproduksi jauh sebelum aku lahir, akhirnya aku pun buka suara juga.

"Aku nggak tahu kamu suka film jadul," kataku.

"Aku suka banget! Apalagi yang hitam putih," jawab Bagas yang tengah memasukkan kepingan DVD itu ke alatnya.

Kuraih wadah DVD tadi dengan judul terpampang jelas bertuliskan The Winning of Barbara Worth.

"Berarti aku terpaksa harus coret namamu dong dari kemungkinan orang yang bisa diajak nonton, misalnya, Game of Thrones."

Bagas mengernyitkan dahi. "Lalu, mau ngajak bule ganteng tadi?"

"Ehem."

Sengaja aku berdehem untuk mengurangi kecanggungan yang lagi-lagi mendera, karena kalimatku sendiri.

Bagas menghempaskan diri tepat di sampingku. "Entah apa itu Game of Thrones. Sering sih aku dengar tentang serial itu, tapi belum ada satupun fakta yang bisa membuatku tertarik untuk menontonya." Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Setiap hari aku konsisten nonton Discovery Channel atau channel sport. Tanya Ibu kalau nggak percaya," katanya seolah tak melihat aku yang sedang salah tingkah, karena ia berhasil menyindirku tadi.

"Menyedihkan," gumamku.

"Sudah, nggak usah nyindir gitu," katanya sambil menyikut pelan lenganku. "Mau kan nonton film hitam putih?"

"Sudah terlanjur duduk sini juga," jawabku datar.

Bagas terkekeh. Ya, aku tidak salah dengar. Lelaki itu tertawa, setelah kejadian absurd sore tadi. "Popcorn?"

"Boleh," kataku.

Aku suka sekali menonton film. Tapi kali ini, aku merasa benar-benar mati gaya di kursi penonton. Sesekali menonton, sesekali mengecek ponsel di tangan. Padahal, aku tahu benar untuk jenis film seperti ini yang notabene adalah silent movie, hanya mata yang bisa diandalkan. Secara memang percakapannya pun ditampilkan dalam bentuk teks di sela-sela adegan.

Diam-diam, aku melirik Bagas di sebelahku. Dari pantulan cahaya di hadapan kami, aku bisa melihat ekspresi terhibur Bagas. Pandangannya benar-benar fokus ke arah layar TV, sesekali saja tangannya meraih ke dalam wadah berisi popcorn. Aku menghela napas.

"Kalau begini ceritanya, mending aku mencoba menikmati menonton film kuning ini deh," batinku.

"Makan popcorn dulu ah," pikirku.

Tanganku sudah masuk ke wadah, tapi yang tersentuh malah sesuatu yang berkulit sedikit lebih kasar ketimbang milikku dan kokoh. Aku mengerjap. Itu tangan Bagas. Pikiran refleksku menyuruh untuk menarik tangan, tapi jemari Bagas malah menahanku agar tetap berada di sana.

Aku melotot dan Bagas menanggapinya dalam diam, seolah tak ada apapun.

"Sial! Nggak peka banget sih ini orang bikin aku deg-degan setengah mati!" batinku meronta-ronta.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang