Ruangan ini terasa begitu sunyi, meskipun bunyi bip halus terus menggema ke seantero ruangan menandakan bahwa aku masih hidup. Mungkin memang aku masih hidup, tetapi aku malah merasa setengah jiwaku melayang entah kemana. Dan aku benci perasaan ini. Perasaan yang sama ketika aku sadar sepengecut apa Aldo, sebrengsek apa keluarganya, dan sesial apa nasibku sekarang. Tak pernah sekali pun terlintas di benakku, bahwa aku akan merasakan kesialan bertubi. Entah apa dosaku. Tunggu, dosaku banyak, tapi apakah aku harus rela menerima semuanya agar tak disiksa nanti ketika tiba di neraka?
Genangan air mata memenuhi mataku yang hanya bisa menatap balik pintu dengan nanar. Aku duduk memeluk lutut dengan jarum infus yang entah sejak kapan sudah tertancap lagi di punggung tangan kiriku. Perasaan sakit tak tertahan di dadaku membuatku sedikit tersengal. Tak ada darah di sana, tapi entah mengapa sakit ini menyiksaku. Wajah Bagas melintas cepat di benakku. Wajah suamiku yang beberapa hari terakhir ini menjadi begitu memesona. Wajah yang tadi menatapku tajam sekaligus pilu. Dan semua gara-gara Josh.
Tidak, bukan. Semua gara-gara aku.
Ponselku yang tergeletak di atas nakas tak bersuara sedikit pun. Layarnya tetap gelap. Mataku menatap benda itu dengan mulut terbungkam. Harusnya, benda itu benar bahwa aku sedang berharap sesuatu padanya. Aku berharap dia menyala dan berbunyi. Aku berharap Bagas membalas semua pesan dan teleponku yang tak pernah tersambung padanya beberapa saat lalu.
Rasa sakit menghantam pelipisku dan tanganku sedang menekannya lembut. Mataku terpejam. Kilatan kejadian kecelakaan itu kembali melintas, berputar seperti video yang memang sengaja diputar kembali untuk menyiksaku. Wajah garang Bagas, amarahnya, senyumnya, pelukannya, dan—oh, malam itu—ya, wajahnya di malam ketika kami hanya berdua saja yang tak pernah kulupa. Kuakui, aku pun sudah hanyut ke dalam perasaan yang entah apakah memang seharusnya ada atau tidak. Jujur saja, aku memang berniat menolong dan bertanggungjawab pada Bagas, tapi untuk terlibat lebih jauh menggunakan hati, sama sekali tak pernah terpikirkan olehku.
Dan, di sinilah aku sekarang. Meratapi hati. Menikmati luka.
Tiba-tiba pintu itu terbuka lebar. Jenna masuk melayangkan senyumnya padaku.
Cepat-cepat kuseka air mata yang masih diam-diam meluncur luruh di pipi. Aku tak balas tersenyum padanya. Bukan karena aku benci padanya, tapi wajahku terlalu kaku untuk sekadar melengkungkan bibir dan bersikap pura-pura seolah tak ada yang salah.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Jenna sambil memeriksa monitor di samping tempat tidurku dan kemudian beralih pada selang infus yang bergerak sangat lamban.
"Kacau," jawabku lirih.
Jenna menatapku sambil meremas bahuku pelan. Ia tersenyum, lalu menyodorkan tangannya yang terkepal ke depan wajahku. Jemarinya terbuka perlahan dan di sana aku melihat sebuah cincin yang sangat familier.
"Kamu menemukannya," ucapku dengan bibir gemetar.
Jenna menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Ambillah," katanya.
Kepalaku malah menggeleng cepat. "Cincin itu sudah nggak ada gunanya lagi di hidupku."
"Hei, kenapa kamu berkata seperti itu?" Jenna duduk di dekatku sambil memasangkan cincin itu ke jari manisku. Tak ada penolakan dariku hingga akhirnya kedua tangan Jenna meremas bahuku yang lunglai.
"Hidupku semakin kacau, Jen," ujarku dengan air mata yang lagi-lagi harus luruh karena kepalaku yang tertunduk lesu.
"Mengapa kamu sudah menyerah begitu saja? Bagas bahkan belum mendengar apapun darimu kan? Jika dia memang cinta padamu, harusnya dia menunggu penjelasan darimu bukan?" Jenna memiringkan kepalanya, mencoba menerobos pertahananku di balik kesedihan yang teramat pedih.
"Aku sudah mengirimkan banyak pesan padanya, meneleponnya, melakukan semua yang aku mampu di atas tempat tidur sialan ini! Tapi, nggak ada respon apapun darinya," isakku, "aku tahu seperti apa Bagas, dan ia nggak akan begitu saja mendengarku atau menerima penjelasanku," sambungku.
Jenna mengangkat kepalaku dan menatap kedua mataku dengan mata forest green-nya. Jemarinya yang lentik dan hangat menyeka air mataku yang tak kunjung reda. Pipiku basah, dan jujur saja aku benci itu. Aku tidak suka terlihat lemah di depan orang yang bukan keluargaku. Tapi, aku tak punya pilihan lain selain menumpahkan segala duka ini pada Jenna.
"Cobalah mengerti posisi Bagas. Nggak mungkin bila ia nggak terkejut dengan kabar kamu pingsan di sini, kemudian salah paham dengan Josh dan—"
"Bagas nggak akan pernah salah paham, jika bukan Josh yang sengaja melakukannya!" selaku dengan emosi yang tiba-tiba memuncak.
"Sstt, Rei, tenangkan dirimu." Jenna menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Coba berpikirlah dengan tenang. Selesaikan masalahmu baik-baik. Aku yakin, Bagas pasti bisa mengerti jika kamu menjelaskannya dengan kepala dingin." Jenna tersenyum. "Bagas mungkin sedang sibuk. Bukankah kamu pernah bercerita padaku tentang pekerjaan barunya dengan Caitlyn?"
Kugigiti bibirku. "Bo-bolehkah aku pulang sekarang?"
Kening Jenna mengernyit. "Uhm, aku tidak yakin karena Josh yang ...."
"Aku nggak pengin bertemu dengan Josh. Aku mohon Jenna, izinkan aku pulang agar aku bisa bertemu dengan Bagas dan mengakhiri semua kesal dan sakit di hatiku ini," pintaku.
Jenna menghela napasnya. "Baiklah, aku akan membantumu keluar dari sini. Tapi berjanjilah, bahwa kamu akan baik-baik saja setelah berjalan keluar," pesannya.
Kepalaku mengangguk cepat. Pipiku memanas ketika membayangkan aku akan bertemu dengan Bagas. Aku akan menemuinya di kantor meskipun hari sudah petang, jika dia memang belum pulang ke rumah. Apapun caranya, akan kutempuh untuk memperbaiki ini semua. Aku dan Bagas bukan hanya sekadar kisah tolong menolong saja sekarang. Kami adalah suami istri, meskipun dengan perjanjian pranikah, tapi Bagas sendiri yang telah melanggarnya karena kejadian malam itu. Ia menyentuhku sebagai istrinya, menerobos pertahanan dirinya sendiri sebagai suamiku.
***
Hello, saya update lagi nih! Takut kalian udah meriang kangen sama Reinayya dan Bagas hehehe
Jangan lupa vote dan comment lho, ya. Plus, jangan sampai ketinggalan Pre Order Married by Accident yang bulan depan sudah siap terbit. Okaaay.
Big hug and thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...