"Dia terus menggigit. Aku tak bisa mengintubasinya," kataku yang sudah berada di dalam ambulans bersama seorang tenaga medis lain bernama Mark, yang tiba sesaat setelah kecelakaan itu terjadi. Seorang pria dengan luka teramat parah ada di hadapanku, tergeletak tak berdaya. Ia salah satu korban yang terhimpit di antara gerbong subway.
"Bantu aku memberi dia napas bantuan, sementara aku melakukan CPR!" ujarku cepat. Kedua tanganku berada di dada pria itu dan menekannya berulang kali dengan kuat untuk memompa jantungnya. "Kumohon bertahanlah. Kita hampir sampai," bisikku yang terus melakukan CPR.
Ambulans berhenti bergerak. Tak lama kemudian, dua petugas medis membuka pintu dan membantuku keluar bersama Mark, dan juga pasien yang kutangani itu. Mereka mendorong stretcher-nya keluar dengan posisiku masih berada di atasnya melakukan CPR. Pintu ruang gawat darurat rumah sakit yang beberapa saat lalu kutinggalkan itu terbuka otomatis. Banyak orang berlalu lalang dan aku tak lagi memperhatikan mereka. Fokusku hanya pada pria di hadapanku ini.
"Taylor. 30 tahun. Korban terhimpit subway. Pembuluh darah putus dan kehilangan banyak darah." Aku berteriak memberikan informasi kepada siapa saja yang berada di sana tanpa menghentikan gerakan tanganku di dada pria malang itu.
"Bawa masuk ke trauma 4!" pekik Jenna yang entah di mana posisinya saat itu. Aku hanya bisa mendengar suaranya yang nyaring.
"Ada tourniquet di kaki kirinya," teriakku sekali lagi. "Aku mencoba mengintubasinya, tetapi rahangnya terus tertutup. Dia kehilangan denyut dalam perjalanan," teriakku sekali lagi yang masih belum berhenti melakukan CPR.
"Pasangkan monitor dan segera beri dia transfusi," pinta Josh yang tiba-tiba saja sudah berada di dekatku. "Bawa 5 unit O neg dan beri dia epi!" lanjut Josh.
"Epi sudah diberikan sebanyak dua kali selama perjalanan kemari dan masih tak ada denyut. Dia mengalami fibrilasi," potongku.
"Segera bawa dia ke ruangan. Aku yang akan menanganinya." Josh bersiap.
"Tidak. Dia pasienku!" sergahku yang berhasil membuat Josh syokk, diam tak bergerak di tempatnya, menatapku bingung.
Aku dibantu oleh Shia dan beberapa orang perawat lainnya. "Tahan kompresi!" pintaku. "Shia, tolong lakukan cordis."
Gadis itu melakukan perintahku dengan begitu baik.
"Kejut jantungnya hingga 120," kataku.
Satu orang perawat yang aku lupa siapa namanya melakukan apa yang kukatakan. "Tak ada denyut," katanya.
"Lakukan lagi hingga 200," kataku was-was.
"Ada denyut. Tachometer sinus di angka 112," kata perawat yang diam-diam kubaca namanya bertuliskan Megan itu.
"... and thanks God, He's back!" ucapku lega. "Periksa tekanan darah dan terus berikan transfusinya," tambahku. "Jangan lupa untuk mengambil sel darahnya, kemudian bawa dia ke ruang operasi," ucapku untuk yang terakhir kalinya pada Shia dan keluar ruangan sembari memegang lengan kiriku yang terluka.
"Kamu butuh bantuan." Josh benar-benar seperti hantu gentayangan yang entah mengapa ia bisa selalu ada di dekatku secara tiba-tiba.
"Hanya luka kecil. Nanti aku bisa minta tolong Shia, ketika dia sudah selesai membawa pasien tadi ke ruang operasi," kataku.
"Dan menurutku itu pasti akan lama." Josh menarik lenganku masuk ke dalam satu ruang perawatan yang kosong. Ia menutup tirainya dan perlahan membantuku melepas jaket yang kukenakan dengan hati-hati tanpa membuatku kesakitan.
Aku hanya diam dan entah mengapa aku bisa menuruti kata-katanya.
"Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanyanya yang sudah menggunting lengan bajuku hingga luka sobek itu bisa terlihat jelas olehnya.
"Entahlah, sepertinya tersangkut sesuatu." Mataku menatap luka menganga itu. Entah kenapa tak kurasa sedikit pun sakit ataupun perih. Sepertinya, aku mati rasa.
Dengan cekatan, Josh merawat lukaku hingga menjahitnya dengan sempurna. Tak ada kata terucap dari bibirnya. Ia benar-benar fokus.
"Kamu ahli bedah plastik?" tanyaku penuh kagum setelah melihat hasil jahitan tangannya di lenganku yang hampir menutup seutuhnya.
"Bukan, tetapi aku berusaha untuk tidak mengecewakan pasienku," kata Josh tetap dengan ekspresi seriusnya.
Aku hanya manggut-manggut tanda mengerti.
"Sejak aku melihatmu, aku penasaran siapa dirimu yang sebenarnya. Tiba-tiba kamu datang dan menggebrak rumah sakit ini," Josh membuka pembicaraan lagi.
"Menggebrak?"
"Ya. Tak ada satu pun orang baru yang berani membentakku seperti kamu membentakku tadi," Josh terkekeh.
"Apakah aku salah, bila aku mempertahankan pasienku?" tanyaku heran.
Josh menyelesaikan jahitan di lenganku. Meletakkan gunting di meja, kemudian menatapku lekat. "Aku hanya ingin tahu kamu siapa."
"Aku ..." Kalimatku terpotong oleh kehadiran Shia yang tiba-tiba membuka pintu.
"Dokter Hawkins, ada yang harus kamu temui," katanya memperingatkanku.
Aku mengangguk cepat. "Thanks," kataku yang sebenarnya untuk Shia karena telah menyelamatkanku dari situasi aneh antara aku dan Josh tadi. Tetapi, Josh yang menyahutinya.
"You're welcome," katanya sesaat sebelum aku menghilang di balik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...