Aku benar-benar ingin melompat setinggi mungkin saat melihat Bagas membuka pintu depan. Tatapannya mengunciku yang sedang berdiri di tengah hujan salju sambil mengantongi ponsel yang sama dinginnya dengan pemiliknya.
Bagas sempat terlihat ragu, tapi kemudian ia berjalan ke arahku. Hanya dalam hitungan detik, rambut dan mantelnya dihiasi titik-titik salju seputih kapas. Aku mendongakkan kepala supaya bisa melihat jelas wajah sosok di hadapanku itu. Rambutnya yang hitam terlihat kusut. Tapi demi Tuhan, walau dalam keadaan berantakan seperti itu pun, Bagas tetap terlihat luar biasa.
"Kamu ... benar-benar sudah memutuskan hubunganmu dengan Aldo?" tanyanya pelan.
Aku menganggukkan kepala.
Bagas menghela napas panjang. "Kalau aku memaafkanmu, apa yang terjadi selanjutnya?"
"Kamu punya saran apa?" asap tipis menguar dari mulutku dan aku menyesali kalimat itu sejurus kemudian. Lagi-lagi ucapanku merampas kebahagiaan di wajah Bagas. Padahal, sumpah demi apapun, aku yakin sekali lelaki itu tadi sempat akan tersenyum untukku. Tapi sekarang ... wajahnya sudah kembali muram seperti langit di atas kepala kami.
"Bodoh!" umpatku dalam hati.
"Nggak. Aku nggak akan bilang apa-apa." Bagas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. "Aku yang bertanya lebih dulu, jadi kamu yang harus jawab. Bukan sebaliknya."
"Begitu ya?"
"Memang seperti itu aturannya, Reinayya Jessica Hawkins!"
Baguslah. Sepertinya, aku masih memiliki kesempatan kedua.
"Aku merasa takdirku ada bersamamu, Gas. Seharusnya, aku nggak boleh meragukan itu sedikit pun. Seandainya aku bisa memutar waktu, aku nggak akan pernah melakukan hal yang bisa membuatmu pergi dari sisiku." Aku membiarkan kejujuran itu meluncur dari mulutku sendiri. "Aku tahu, setelah semua yang terjadi, sungguh sulit untuk mempercayai semua yang kukatakan ini. Bahkan, bisa jadi, kamu mungkin sudah ilfil denganku."
Tenggorokanku tercekat. Kerongkonganku terasa begitu kering kerontang.
"Siapa bilang aku ilfil?" Bagas tak bisa menyembunyikan senyumannya. Tapi aku malah menatapnya tajam.
"Aku ini serius, Bagas."
"Aku juga." Lelaki itu maju satu langkah, supaya aku bisa melihat langsung seperti apa kebahagiaan terlukis diraut wajahnya ketika mendengar pengakuanku barusan.
"Kali ini, nggak ada orang lain di hati."
"Benarkah?"
Aku mengangguk. "Cukup sudah yang kulakukan itu padamu. Takkan pernah lagi terjadi untuk sekarang dan seterusnya. Aku janji."
"Anggap saja aku juga percaya." Bagas terdiam sejenak. Meski perasaannya melunak, tapi ia seolah tak ingin mempermudah situasinya untukku. Dia lalu bertanya, "Lalu, apa lagi?"
"Lalu, aku akan terus mencintaimu sampai kamu percaya akan hal itu."
"Lalu?"
Aku balas menatap mata Bagas dan berjanji pada diriku sendiri; bagaimanapun caranya, binar-binar bahagia di mata lelaki itu akan kujaga supaya tetap bertahan berada di sana.
"Dan ketika kita sedekat ini ...," Aku sengaja membiarkan ucapanku itu tertahan di udara, "satu-satunya hal yang paling masuk akal adalah ...."
Kedua alis Bagas yang digelayuti butiran lembut salju terangkat naik.
"Let my kisses be the words of love that I don't say."
Bagas tampak bingung, tapi dia sepertinya bisa memahami maksudku karena aku kemudian menciumnya sampai kedua lututku ini tak sanggup lagi menopang bobot tubuhku sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...