Jujur saja, aku sedikit terpukau melihat perubahan Aldo yang yah, jauh lebih friendly ketimbang bersamaku dulu. Atau memang aku ini sebenarnya membawa pengaruh buruk?
"Dan di suatu titik, di jam ramai seperti ini, aku diam-diam berharap orang-orang bisa berhenti datang dulu kemari," ujar Aldo sambil menyiapkan se-pitcher bir entah untuk siapa.
"Ini apa?" tanyaku sambil mengangkat gelas kecil yang tadi ia berikan.
"Treats bomb, salah satu beer cocktail favorit di Knock On Wood," jelasnya. "Kamu harus meminumnya dalam sekali tenggak," katanya lagi. "Cobalah! Ini aman," ia tersenyum.
Ada gurat keraguan di hati ketika hendak mengangkat gelas di tanganku itu. Aldo benar-benar seperti berubah 180 derajat. Ia seperti bukan Aldo tapi, aku benar-benar tak ingin memikirkan itu sekarang. Aldo hanyalah sepenggal kisah lama yang harusnya tak perlu aku pusingkan lagi. Aku butuh pelampiasan segala rasa sesak di dadaku ini. Apapun itu, karena aku tak sanggup lagi menahannya. Aku benci perasaan ini. Dan aku membutuhkan sesuatu untuk melepasnya ke semesta. Aku pun menyesap isi frosted pint glass itu hingga tandas. Rasa pahit, manis, sedikit asam, berpadu dengan sedikit sensasi hangat menggelayar melalui tenggorokan hingga dada dan berakhir di perutku. Aneh. Tapi ... aku ingin merasakannya lagi.
"Bolehkah aku minta lagi?" tanyaku sambil mendorong gelas itu ke arah Aldo.
"Sure," katanya sebelum mengantar pitcher penuh pesanan pengunjung lain. Ia menuangkan minuman itu lagi ke dalam gelas miniku.
"Thanks," kataku.
Dia tersenyum. "Tunggu di sini ya! Karena sepertinya kamu mulai ketagihan treats bomb," katanya bergegas.
Aku hanya tersenyum dan terdiam menatap ke arah gelas kosong di antara hingar bingar musik Knock On Wood, serta riuhnya gelak tawa dan suara obrolan para pengunjungnya. Bayangan wajah Bagas kembali berkelebat. Samar, aku mendengar dua orang berbincang dengan cukup serius.
"Dalam perhitungan cinta, satu tambah satu sama dengan tak terhingga. Sedangkan dua kurang satu sama dengan nol," kata lelaki setengah baya itu pada lelaki lain di hadapannya. Umur mereka sepertinya terpaut jauh.
Dan ya, dia benar. Aku seperti angka nol besar sekarang. Kehilangan kesempatan untuk bisa tertawa lagi bersama Bagas yang susah payah berubah demi aku, keluarganya, dan tentu dirinya sendiri.
"Menikah bukanlah bisa hidup dengannya, menikah berarti tidak bisa hidup tanpanya ...."
Aku tertegun mendengar kalimat itu. Sejauh yang bisa kuingat, pernikahanku dengan Bagas bukanlah pernikahan yang kebanyakan terjadi di dunia. Bukan juga jenis pernikahan yang didambakan orang lain. Pernikahanku dengannya berawal dari sebuah musibah yang akhirnya mendorong kami ke dalam satu jalan setapak yang sama. Jalan yang hanya bisa ditempuh jika kami saling bergandengan tangan, bekerjasama satu sama lain. Mungkin benar, saat ini aku sudah melibatkan hati dalam pernikahanku. Mungkin benar, pernikahan ini telah membuatku tak bisa hidup tanpa Bagas. Tapi, apakah Bagas juga berpikir demikian?
Kepalaku kembali berdenyut. Rasa sakit itu kembali menghantam dan memaksaku menekan pelipisku perlahan. Kuraih ponsel di dalam saku jaketku dengan satu tangan. Tetap tak ada balasan dari Bagas. Mungkin Jenna benar, Bagas tengah sibuk menenggelamkan kekesalannya pada pekerjaan. Tapi, benarkah ia setega itu membiarkanku yang jelas-jelas harus dirawat di rumah sakit sendirian?
Jariku menggulirkan sejumlah aplikasi melalui layar ponsel yang sedang aku pandangi. Aku benar-benar bosan hingga akhirnya memilih untuk memainkan satu-satunya game yang ada di ponselku—game yang tidak pernah sekalipun kumainkan. Fruit Ninja
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...