Chapter 21

5.6K 364 2
                                    

Hujan turun semakin deras. Aroma khas tanah yang tadinya kering dan penuh debu, kini berubah menenangkan. Deru angin mengiringi setiap rintikannya yang jatuh membasahi bumi. Aku yang tengah berdiri di salah satu halte sibuk memegangi helaian rambut setengah basah yang menampar wajahku. Para suruhan Anthony sebenarnya masih punya tugas untuk mengantarku kembali ke rumah sakit, tapi aku menolak. Aku lebih memilih untuk pergi sendiri dan akhirnya terdampar di sini, memikirkan rencana yang harus kubuat secepat mungkin. Entah apa yang merasukiku tadi. Aku hanya tak ingin siapapun terluka karena keputusanku yang salah. Dan sekarang, aku dilanda kegalauan yang teramat sangat. Hanya ada satu nama yang bisa menjadi jalan keluarku saat ini. Tapi, aku tak yakin ia bersedia membantu dan ikut bermain dalam rencanaku.

Ponselku masih tergenggam erat di tangan hingga buku-buku jariku menonjol. Beberapa orang ikut berdiri merapat di dekatku demi terhindar dari percikan air hujan dan genangan air yang terciprat dari ban-ban kendaraan di jalanan. Kutatap benda di tanganku itu nanar. Layarnya yang gelap masih menunggu perintah dariku.

"Maafkan, Rei, Ma," bisikku di antara bisingnya suara hujan dan gemuruh petir di langit.

Jemariku menyentuh layar ponsel yang akhirnya menyala. Kuusap layar itu hingga berhenti di satu nomor telepon yang nyaris dua tahun terakhir ini ingin kulupakan begitu saja. Kutekan ikon telepon agar kami segera tersambung. Aku bahkan tak peduli sedang apa dia di sana, padahal jelas-jelas aku tahu di sana masih dini hari.

Satu kali.

Dua kali

Tiga kali.

Nada dering di ponselku itu terus terdengar tanpa tersambung oleh si empunya. Aku masih setia menunggu hingga bunyi kelima dan tersambung pada mesin penjawab otomatis. Kujauhkan benda itu dari telinga dan kuusap layarnya untuk memutus sambungan. Kugigit bibir bawahku penuh kesal. Gemuruh petir di angkasa seolah tercipta karena kegundahanku siang itu.

"Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" bisikku sekali lagi pada diri sendiri.

Lima orang yang tadinya berkumpul di dekatku sudah bertambah menjadi lebih banyak dan aku tidak tertarik untuk menghitungnya. Aku memilih untuk melangkah maju, tak peduli jika bajuku harus terciprat air ataupun tetesan hujan dari atap halte. Satu bus bergerak mendekati halte itu. Spontan aku mundur untuk memberikan jalan bagi siapa saja yang hendak naik maupun turun. Sementara aku, tak berniat kemana-mana.

Ketika kerumunan orang di sana sudah berubah tak seperti sedia kala, hanya tersisa dua orang saja yang bersandar di tiang halte, aku mengangkat ponsel itu ke telinga sekali lagi.

Satu kali dering dan ajaib.

"Reinayya?"

Jantungku berdegup kencang seolah ingin melompat keluar melewati tulang rusuk dan kulitku karena saking kencangnya. Bibirku masih kaku. Diam tak bergerak untuk menjawab sapaan itu.

"Reinayya? Apakah kau di sana?"

Kuembuskan napas perlahan dari mulut dan cepat-cepat kembali mengisi paru-paruku dengan udara melalui hidung. Dadaku bergerak naik turun sebelum akhirnya mulutku bersuara.

"Ya, Papa. Ini Reinayya."


***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident.

Jangan lupa vote dan comment, ya! :)

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang