Aku menjadi satu-satunya orang yang hanya bisa bergeming dengan ekspresi tegang saat mendengar suara bel berbunyi. Bagas yang tadinya duduk di sampingku sambil menonton televisi bersama Medina segera beranjak. Tampaknya, ia menyadari perasaanku karena ia sempat menyentuh bahuku lembut sebelum akhirnya berjalan menuju pintu depan. Ibu yang tadinya sibuk di dapur pun bergegas merapikan diri dan mengikuti langkah Bagas. Tinggallah aku sendiri di ruang tengah dengan wajah pucat pasi, karena Medina juga melangkah pergi.
Aku mendengar suara pintu terbuka dan Bagas menyapa Papa beserta keluarganya. Samar-samar, aku juga mendengar gelak tawa di antara mereka. Entah bagaimana aku harus menghadapi ini semua. Semoga saja malam ini cepat berlalu tanpa ada satu kejadian apapun yang membuat rencanaku gagal total.
Bagas menatapku saat mereka tiba di ruang tengah dan menatapku yang masih kaku.
"Rei, kenapa masih diam di situ?" tanya Ibu dengan kedua alis terangkat.
Aku seperti orang yang baru saja sadar dari hipnotis. Cepat-cepat aku berdiri dan menyongsong mereka, memaksakan senyuman yang sebenarnya tak ingin kuberikan. Apalagi saat menatap setiap wajah keluarga Papa yang tanpa berkedip tertuju padaku.
"Selamat malam, Pa," sapaku canggung.
"Selamat malam, Reinayya," balas Papa tersenyum penuh bahagia karena mungkin ada kelegaan dalam hatinya yang berhasil mempertemukanku dengan keluarganya. "Perkenalkan, ini Liz, istri Papa."
Mataku tertuju pada seorang wanita seumuran Mama yang nyaris tanpa keriput di wajahnya. Rambut pirangnya tergulung indah, menambah anggun penampilannya yang nyaris sempurna dengan setelan berwarna hitam.
"Kamu secantik yang diceritakan oleh papamu, Reinayya," kata Liz yang tanpa permisi memelukku begitu saja.
Aku yang tadinya hanya mematung seperti ditarik ke dalam pelukan wanita yang beraroma seperti sabun mandi mewah itu.
"Senang akhirnya bertemu denganmu, Liz," kataku.
Liz melepasku, tapi masih meletakkan kedua tangannya yang seputih pualam di bahuku. "Kuharap kita akan sering bertemu."
Aku hanya tersenyum.
"Ini Caitlyn dan Matthew," kata Papa dengan dua tangan berada di bahu masing-masing putra dan putrinya.
Awalnya, pandanganku hanya tertuju pada Matthew yang sekilas terlihat begitu mirip Kak Jordy. Hanya saja terperangkap pada tubuh mungil seukuran Medina. Sepertinya, mereka memang seumuran.
"Hai, Matthew. Hai, Cait ..." ucapanku terhenti ketika memergoki adik tiri perempuanku yang memiliki rambut pirang tergerai indah itu sedang tertegun memandangi Bagas. Beruntungnya, Bagas sedang sibuk menatapku.
Kalimatku yang terhenti, justru jadi penanda mereka untuk menatap ke arah Caitlyn. Parahnya, gadis itu malah sedang menggigiti bibirnya sambil menatap Bagas dengan pandangan menjijikkan. Bitch.
"Caitlyn, Reinayya menyapamu," ujar Liz mengingatkan.
"Hai," gadis itu baru mengalihkan pandangannya, sementara aku sudah ingin mengakhiri semuanya.
"Mari kita langsung ke meja makan saja. Kalian pasti sudah lapar karena udaranya teramat dingin malam ini," ajak Ibu berusaha mencairkan suasana.
Mereka semua berjalan, kecuali aku dan Bagas. Lelaki itu menampakkan pandangan aneh ke arahku dengan satu alis terangkat.
"Kenapa kamu?"
"Menurutmu?" tanyaku kesal.
"Cemburu?"
Aku mendengus kesal. "Jangan ge-er, ya! Aku hanya nggak suka dengan gerak-gerik adik tiriku yang genit itu."
Parahnya, Bagas malah tersenyum dan mengusap punggungku sekaligus menuntunku ke arah meja makan untuk bergabung bersama mereka. "Tenangkan dirimu. Aku janji, ini takkan lama."
"Semoga saja. Karena jika tidak, bisa kupastikan dia akan bermimpi buruk malam ini," geramku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...