"Tunggu!" kataku sambil berusaha mengatur napas. "Aku ikut," lanjutku.
"Rei, apa-apaan kamu?!" Amanda mencegahku. Lagi-lagi, ia mencengkeram lenganku kuat. "Jangan!" bentaknya.
Kulepaskan tangan Amanda. "Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir." Aku melepaskan jas putih yang kukenakan dan memberikannya pada Amanda, lalu berjalan keluar mengikuti empat lelaki itu pergi.
Tak ada sepatah kata keluar dari mulutku di sepanjang perjalanan bersama manusia-manusia misterius ini. Mereka juga tak ada yang berkomentar apapun. Fokus pada diri masing-masing dan jalanan tentunya. Aku mencoba mengingat wajah mereka satu persatu sebagai tindakan yang menurutku bisa memberikan keuntungan, seandainya ada yang berani macam-macam denganku. Jujur saja, aku saat itu sangat menyesal teramat dalam. Menyesal karena tak mengikuti saran dari Kak Jordy agar berlatih bela diri untuk berjaga-jaga. Seingatku, aku malah mencibirnya dan mengatakan dengan kalimat pongah bahwa tak akan ada yang berani mencelakai gadis mengerikan sepertiku. Namun, nyatanya, musuhku jauh lebih mengerikan. Oh, tidak!
Hampir tiga puluh menit aku berada di dalam mobil SUV yang akhirnya berhenti tepat di depan sebuah gedung perkantoran megah. Tak ada satu pun dari mereka yang menyentuhku. Hanya senyum sejuta makna yang terus terpapar untukku. Tanganku terasa begitu dingin hingga sedikit kebas. Kami masuk ke dalam lift dan bergerak menuju lantai dua belas. Ketika pintu lift terbuka, aku hanya melihat satu lorong panjang dengan karpet beledu berwarna merah marun. Ada sebuah pintu di ujung lorong yang dijaga oleh dua orang lelaki berpakaian serbahitam pula. Aku curiga, hitam adalah warna seragam mereka.
"Silakan masuk!" lelaki yang terus tersenyum padaku tadi membuka pintu kayu dengan ukiran abstrak yang tak bisa kupahami maknanya, tapi terlihat begitu elegan dan mahal.
Aroma khas tembakau menyeruak menusuk hidungku. Mataku berkedip cepat dengan napas terembus berat. Aku benci bau ini. Ruangan itu terlihat begitu luas, ditambah dengan dindingnya yang terbuat dari kaca di segala penjuru. Begitu terang dan—indah. Aku bisa mengintip hiruk pikuk perkotaan sekaligus awan kelabu yang menggantung di langit dan rintik air hujan yang jatuh membasahi kaca dari tempatku berdiri. Tak ada yang aneh dengan ruangan itu, selain kursi besar berwarna hitam di balik sebuah meja kerja. Kursi itu membelakangiku dan kulihat ada lengan menyembul dari salah satu sisinya.
"Apakah ini balasanmu setelah apa yang Aldo lakukan dengan membebaskan bocah ingusan itu?" suara berat itu membuatku terkesiap dalam sekejap. Asalnya dari balik kursi itu yang akhirnya berputar perlahan, memperlihatkan wajah garang dengan kerutan di segala penjuru.
"Kenapa orang ini tiba-tiba bisa begitu fasih bahasa Indonesia?" batinku dengan kening berkerut. "Apakah dia memang sudah niat berpura-pura di hadapanku?"
"Maaf sebelumnya Om, tapi perlu saya luruskan lagi bahwa saya tidak pernah menjadi bagian dari rencana Bagas yang ternyata menuntut balik Aldo. Meskipun menurut saya, menuntut kalian merupakan tindakan yang benar," ujarku berusaha setenang mungkin.
Anthony tersenyum sinis. "Menuntut kami? Menuntutmu maksudnya?"
Aku menelan ludah mendengar kalimatnya itu. "Iya saya yang salah, memang seharusnya saya yang dituntut atas kecelakaan itu dan saya bersedia menerima hukumannya, karena saya bukan pengecut seperti Om yang berusaha membeli hukum negara ini dengan uang!"
Lelaki itu terdiam. Ia menundukkan kepalanya. "Bila bukan karena Aldo yang terlalu mencintaimu, mungkin sekarang nasibmu sudah berada di dalam gorong-gorong, dengan setiap bagian tubuh terpotong."
Jantungku semakin beritme abnormal. Tak pernah terlintas di benakku bahwa papa dan mama Aldo yang dulu kutemui ternyata adalah sepasang manusia kasar, bengis, dan mengerikan.
"Let's make a deal," kata Anthony dengan suara beratnya. "Aku akan memberimu kesempatan untuk tetap hidup dan menjalani hari-harimu sebagai dokter seperti sekarang, tapi kamu harus pergi dari negara ini bersama Aldo selagi aku membereskan laki-laki miskin tak tahu diri itu," jelasnya.
Otakku berusaha mencerna dengan cepat setiap perkataan Anthony dan berusaha menjawab dengan kalimat yang tepat. Kepalaku menggeleng cepat. "Terima kasih atas tawarannya, tapi saya tidak akan pergi kemana pun, begitu juga Bagas beserta ibu dan adiknya."
"Oh, jadi kamu menolak tawaranku?"
"Maaf, tapi iya saya menolak. Sudah seharusnya Bagas menuntut saya dan kalian. Dia berhak mendapatkan keadilan," kataku penuh percaya diri.
Anthony terlihat gusar. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di meja kerjanya dan berbicara dengan seseorang. "Siksa gadis kecil itu sampai mati," katanya ditelepon sambil menatapku licik.
Dadaku sakit mendengar kalimat si Tua Bangka itu. Mataku berputar, kepalaku berpikir dengan cepat. "Tunggu! Jangan! Jangan lukai Medina!" aku berkata tanpa berpikir. Aku bahkan tak bisa membedakan apakah itu hanya gertakan ataukah memang kenyataan.
Anthony meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Ia menyeringai. "Gadis pintar," pujinya.
"Saya akan pergi dari sini tapi tidak dengan Aldo. Saya juga akan pastikan bahwa Bagas dan keluarganya tidak akan pernah menuntut kalian lagi," kataku dengan suara bergetar karena saking marah dan takutnya bila mendapati kenyataan keluarga Bagas harus tersiksa karena ulah Anthony.
"Baik. Aku pegang janjimu dan aku akan urus semua kepergianmu dari sini. Katakan saja kemana kau ingin pergi, dan aku akan buat segalanya jauh lebih mudah untukmu." Anthony tersenyum lebar. "Dan satu lagi, kamu akan tetap menjadi dokter di mana pun kamu berada nanti," lanjutnya.
Lututku lemas rasanya, meskipun napasku sudah kembali lebih rileks dari sebelumnya. "Beri saya waktu untuk memutuskan kemana saya akan pergi. Besok, saya hubungi Om," kataku dengan tangan mengepal penuh amarah tertahan.
"Aku tunggu," kata Anthony yang bangkit dari duduknya sambil membuka sebuah kotak, mengambil sebatang cerutu yang kemudian diapitnya di antara bibirnya yang menghitam. Ia meraih sebuah zippo yang tergeletak di meja, lalu dengan satu tangan menggeser jendela di belakangnya.
"Manusia bengis," gumamku sambil berjalan menuju pintu dengan gemetar tak keruan.
"Silakan." Lelaki tadi masih berdiri di depan pintu, ketika aku membukanya lebar.
"Tak perlu mengantarku. Simpan saja energi kalian untuk hal yang lebih berpahala!" ketusku yang berjalan cepat, bahkan setengah berlari menuju lift yang terbuka lebar. Kutekan tombol lift itu agar pintunya segera menutup sebelum Anthony berubah pikiran dan memerintahkan anak buahnya untuk menenggelamkanku di gorong-gorong. Mataku tak pernah lepas dari mereka yang juga tengah menatapku dengan tatapan seperti seekor singa yang kelaparan di padang sabana. Dan bahuku lunglai ketika akhirnya lift itu tertutup, meluncur menuju lantai dasar, sesuai tombol yang kutekan. Kurogoh saku jeansku, meraih ponsel yang sedari tadi membisu di sana.
"Man, aku baik-baik saja dan sekarang dalam perjalanan kembali ke rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...