Perasaanku campur aduk membayangkan akan sebahagia apa Bagas nanti bila aku memberitahunya mengenai tawaran Papa tadi. Beruntung, traffic tidak terlalu ramai sehingga aku bisa sampai di rumah hanya dalam waktu lima belas menit.
"Assalamualaikum," ucapkku sambil membuka pintu dan ternyata Ibu, Bagas, dan juga Medina sedang berkumpul di ruang makan menyantap hidangan malam.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu dan Medina dengan nyaring. "Ya Allah, Reinayya sudah pulang. Maaf kami tidak menunggumu, karena Ibu pikir kamu pulang larut." Ibu tergesa bangkit dari duduknya.
"Bu, Bagas dapat tawaran pekerjaan!" kataku tak sabar dan segera duduk di salah satu kursi.
"Masya Allah, pekerjaan apa, Nak?" Ibu bingung, begitu halnya dengan Bagas yang keningnya berkerut melihat tingkahku.
"Jadi begini Bu, Papa menawarkan pekerjaan untuk Bagas. Kebetulan, ehm, saudara tiri Rei sedang membutuhkan bantuan seseorang untuk menjalankan bisnisnya. Dia nggak perlu keluar rumah kok, dia bisa mengerjakaan tugasnya dari rumah dan gajinya lumayan, Bu!" pekikku girang sambil mengeluarkan map pemberian Papa tadi dan meletakkannya ke hadapan Bagas.
Tiba-tiba aku mendengar suara pukulan di atas meja. Pukulan itu juga membuat piring dan sendok bergerak menghasilkan suara nyaring. Hantaman tangan Bagas-lah sumbernya. Lelaki itu terlihat sedang menahan amarah dengan rahangnya yang terlihat mengeras dan tangan terkepal. "Sudah aku duga kalau ternyata hatimu memang sebusuk ini!"
Hatiku rasanya ditusuk sembilu mendengar kalimat Bagas. "Apa?"
"Bagas!" pekik Ibu dengan bibir gemetar.
"Aku salah menilaimu. Aku pikir kamu benar-benar merasa bersalah karena semua yang telah terjadi selama ini, tapi ternyata di balik ini semua kamu hanya menginginkan aku untuk mengembalikan semua harta dan uang yang sudah kamu habiskan untuk kami!" teriak Bagas emosi.
"Apa maksudmu, Gas?"
Bagas melemparkan map biru itu ke arahku hingga menghantam wajahku. "Ucapanmu tadi adalah bukti bahwa sebenarnya kamu tidak pernah rela membantu kami. Dengan ini, kamu berharap agar aku bisa segera mendapatkan penghasilan, sehingga aku bisa membayar semua yang telah kamu lakukan selama ini. Iya kan?!" bentak Bagas.
"Bagas!" teriak Ibu yang sudah tak kuasa menahan emosinya.
Pipiku terasa sedikit perih, sepertinya ada bagian dari map tadi yang berhasil menggores kulitku. Tapi, aku tak peduli karena rasa perih ini tak sebanding dengan sakitnya hatiku akan kata-kata Bagas.
"Maafkan aku yang hanya bisa menjadi pengacau dan penghancur hidupmu. Tapi demi apapun, aku nggak pernah punya pikiran sepicik itu. Aku rela dan insya Allah ikhlas memberikan semuanya untuk kamu dan keluargamu sebagai balas atas apa yang sudah aku lakukan hingga kamu duduk di atas kursi roda itu tak berdaya!" desisku menahan amarah dan tangis yang berusaha menyeruak keluar. "Aku hanya ingin membantumu bangkit dari segala keterpurukan ini, Gas! Cuma itu! Aku cuma pengin lihat Ibu dan Medina tersenyum lagi, karena melihatmu yang sudah bisa kembali beraktivitas, bukannya terus-terusan muram dan menyalahkan takdir ataupun aku!" teriakku tidak terkontrol.
Bagas masih menatapku tajam.
"Cukup, Gas! Aku mohon cukup untuk menyalahkanku. Sungguh aku sudah nggak sanggup lagi menahan ini semua," tangisku pecah. Ibu menyentuh bahuku tapi aku tepis dan aku berlari masuk ke dalam kamar. Menarik koper besarku dan menjejalkan semua pakaian serta barangku ke dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...