Chapter 66

4.9K 285 4
                                    

Salju telah turun dan memutihkan sepanjang jalan yang kulewati pagi ini. Sejauh mataku memandang, hanyalah gunungan salju di pinggir jalan. Tak banyak orang yang terlihat, selain beberapa mobil yang melintas atau menyalip mobil yang kukendarai bersama Bagas saat itu. Sudah beberapa menit kami melewatkan waktu berdua di dalam SUV ini, dan belum ada tanda-tanda pembicaraan. Entah mengapa, aku merasa sangat canggung setelah malam yang kulewati bersamanya kemarin. Aku bukan menyesal, tetapi ... ah, entahlah. Ada sesuatu yang menggelitik, tetapi menyenangkan. Aku bahkan tak bisa berhenti menatapnya yang sedari tadi sibuk menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, mengikuti tempo alunan lagu Perfect milik Ed Sheeran yang sukses membuatku semakin baper karena duetnya dengan Beyonce.

"Now, I know I had met an angel in person. And she looks perfect ..." tiba-tiba Bagas bersenandung, sambil melirikku dan setengah tersenyum.

"Kamu sehat?" tanyaku salah tingkah.

"Nggak," jawabnya santai.

Keningku mulai berkerut. Entah mengapa aku seperti tak bisa membedakan, mana Bagas yang sehat dan pura-pura sehat.

Bagas hanya balas menatapku dengan bibir tersungging semakin tinggi. Sungguh, itu pemandangan paling menyenangkan pagi ini, selain salju yang menggunung. Aku masih menatapnya, tapi mataku beralih pada sesuatu di jari Bagas yang aku yakin tak pernah ada di sana sebelumnya. Tidak setelah kami menikah beberapa minggu lalu. Sebuah cincin perak melingkar di jari manisnya.

Aku menelan ludah. Memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang bisa saja mengundang berbagai reaksi dari lelaki itu. Namun, aku tak peduli. Rasa penasaran ini sudah membutakanku. Kalau pun nanti Bagas tersinggung, aku masih bisa pergi ke rumah sakit menggunakan subway. Tapi, semoga saja itu tak pernah terjadi.

"Gas, sejak kapan kamu pakai cincin pernikahan kita?" tanyaku dalam satu kali tarikan napas, persis seperti lelaki yang akan mengucap ijab qabul. Konyol.

Kedua alis Bagas terangkat. Ia menatapku sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan. "Aku pikir kamu nggak seperhatian itu," jawabnya singkat dan tak menjawab pertanyaanku.

"Harusnya sih terlewat dari mataku, tapi mana bisa kalau kamu sepertinya sengaja pamer gitu ke aku dengan mengetukkan jemarimu di setir?" tanyaku.

Bagas terkekeh. "Rei ... Rei ... kenapa aku bisa baru sadar ya, kalau kamu selucu ini?"

"Gas, sudah deh nggak usah mengalihkan pembicaraan. Aku tanya itu dijawab!" sungutku dengan kening berkerut, plus bibir mengerucut.

"Memangnya kenapa kalau aku pakai cincin pernikahan kita? Ada yang salah? Bukankah akan lebih salah, kalau aku nggak pakai ya?" Bagas balik bertanya. "Kamu aja nggak pernah melepas cincin itu kan, apapun sikapku ke kamu. Iya nggak?"

Mulutku bungkam. Jemariku malah asik memainkan cincin yang sedang kami perdebatkan itu. Bagas benar, aku memang tak pernah melepaskan cincin ini apapun yang terjadi. Tak pernah sekali pun terlintas di benakku untuk melepasnya. Pernikahanku dengan Bagas memang terpaksa, tetapi janjiku pada Tuhan tentang pernikahan ini tak pernah palsu.

Bagas menghentikan laju mobilnya. Ia menatapku yang masih termenung. "Mikirin apa, Rei?"

Aku tersadar dari lamunan. Ternyata, kami sudah berada di area parkir rumah sakit. "Nggak ada," kataku yang segera merapikan mantel dan mencengkeram tali tas dari bangku belakang. Satu tangan lainnya, menarik tuas pintu dan keluar. Bagas mengikuti gerak-gerikku. Ia bahkan berjalan memutar hanya untuk berdiri di hadapanku saat itu.

"Maafkan aku," katanya sambil meraih kedua tanganku dan meremasnya lembut.

Entah mengapa, rasa hangat dari kedua tangan Bagas itu mampu membuat sekujur tubuhku ikut menghangat. Bagas seolah sedang menghantarkan suatu energi layaknya listrik yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.

"Ke ... kenapa?" tanyaku salah tingkah.

"Karena nggak pernah menyerah untuk aku," jawabnya yang berakhir dengan satu kecupan hangat, tepat di bibirku yang hampir membeku. Bagas menciumku untuk beberapa detik saja. Kemudian dia merengkuhku ke dalam dekapannya, sambil mengusap rambutku yang sudah kuikat ekor kuda dengan gemas. "Jangan kerja terlalu berat. Sempatkan untuk istirahat sebentar dan meneleponku, ok?" katanya sambil melepaskanku.

Lidahku kelu. Jujur saja, aku tak tahu harus bertingkah bagaimana. Bagas sudah bukan Bagas yang kukenal. Ia menjadi lebih hangat sekarang. Bukan, bukan hanya hangat tapi panas! Lemari es ini telah memanas dan seluruh es-nya mencair.

"Hei, kenapa bengong?" Bagas mencubit pipiku lembut sambil tersenyum.

"Uhm ... ok, aku akan menghubungimu nanti," kataku cepat dan bergegas memutar tubuh meninggalkannya. Tepat ketika kuangkat wajahku, ada sosok Josh tak jauh dari sana. Ia berdiri mematung, menonton adegan ala sinetronku dengan Bagas. Wajahnya datar. Dingin sedingin salju di hari itu.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang