Pintu rumah terlihat semakin dekat. Pandanganku memang tak sepenuhnya jelas, tapi aku tahu benar dan—tentu saja—masih ingat seperti apa bangunan yang menjadi saksi bisu perjalananku di sini bersama Bagas. Kepalaku berat dan jalan pun masih sempoyongan. Dengan sabar, Bagas menuntunku dengan kedua lengannya yang kokoh dan hangat.
Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir kami, ketika akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang. Melupakan sejenak gairah yang tadi membara. Semuanya seolah meleleh seperti salju di musim semi. Tapi, gejolak itu masih ada. Sesekali, aku merapatkan tubuh ke lengan Bagas. Hmmm ... kali ini, dibantu angin malam yang tentu saja menusuk tulang meskipun retsleting jaketku sudah dirapatkan oleh Bagas, tapi aku tetap bisa bebas menghirup aroma tubuh Bagas yang bercampur dengan Gucci Guilty Black yang samar-samar juga menggelitik indera penciumanku. Kuletakkan kepalaku di bahu kiri Bagas—suamiku itu diam saja. Justru karena diam itulah jantungku malah berdebar kencang. Aku menggigiti bibir bawahku, jujur saja aku mulai khawatir.
"Gimana kalau suara berisik jantungku ini kedengeran sampai telinga Bagas ya? Berarti, memang sudah seharusnya nggak ada lagi rahasia di antara aku dan dia. Percuma aja selama ini aku berpura-pura untuk menjaga hati dari Bagas. Percuma aja selama ini aku menahan diri untuk nggak mencintainya, padahal nyatanya aku peduli dan nggak pengen dia pergi," batinku. "Ah, sudah cukuplah main-main dengan pikiranku sendiri," hardikku dalam hati. Karena ini, hidupku malah semakin rumit! Yang ada malah diriku ini sakit sendiri!
"Sudah sampai." Suara Bagas membuyarkan lamunanku, mengantarkan getar aneh hingga sekujur tubuh.
"Oh, God, apa memang begini ya seharusnya, cepat atau lambat, saat benar-benar jatuh cinta, setiap inci tubuh orang itu akan mengalirkan efek tersendiri bagi orang yang mencintainya?"
Ups.
Tiba-tiba aku panik sendiri.
"Ya ampun, pantas saja aku mengalami broken heart syndrome hanya karena cincin yang nyempil entah di mana. Ternyata memang perasaanku ke Bagas sudah berkembang sepesat ini. Tuhan, apakah memang benar ini rencana-Mu? Aku tak pernah bermaksud untuk menjebaknya ke dalam permainan hati, aku benar-benar tulus ingin menolongnya. Atau memang ini hadiah untuk ketulusanku dari-Mu?"
"Rei, kamu baik-baik aja kan?" Bagas menatapku cemas.
"Uhm, iya."
Bagas masih menatapku.
"Uh, please ... jangan tatap aku seperti itu!"
Bagas melepaskanku, mendorong tuas pintu dan masuk. Meninggalkan aku sendiri yang masih bengong, tidak mengerti apa yang sedang menimpaku. Mungkin efek alkohol sialan itu masih tersisa. Oh, jelas saja masih tersisa—Aldo sialan!
"Aku butuh kopi, kepalaku sekarang berasa sedikit pusing—kayaknya gara-gara treats bomb sialan tapi enak itu," gumamku.
Bagas yang berdiri tak jauh dari hadapanku itu berbalik. "Siapa suruh kamu minum alkohol? Aku pikir, kamu terlalu cerdas untuk nggak menyentuh minuman macam itu—dan, kenapa Aldo ada di sini?"
Jleb ...
Rasanya Bagas baru saja melepaskan anak panahnya, tepat ke dadaku. Seperti adegan Katniss Everdeen yang batal membidik Snow, tapi justru melontarkan panahnya ke jantung Coin. Halah, aku semakin ngelantur.
Meskipun gelap, aku bisa merasakan Bagas masih menatapku tajam. Sepertinya ia ingin balas dendam dengan sikap menggilaku tadi. Aku berusaha menyadarkan diri secepat mungkin, sambil menutup pintu depan, lalu berbalik menghadapi Bagas. Lelaki itu berdiri, sepertinya masih menunggu jawaban dariku.
Gelap. Aku meraba-raba dinding, lalu menekan saklar lampu ruang depan dan teras depan yang kebetulan berada bersisian.
"Jadi minum kopi nggak?" tanya Bagas yang entah kenapa mengubah arah pembicaraannya sendiri.
Entah setan tikungan mana lagi yang merasukiku. Bukannya menjawab pertanyaan Bagas, tapi aku malah mengunci bibirnya dengan ciuman yang agak terburu-buru dan sedikit tulus. Tapi, sentuhan bibir Bagas di bibirku itu mengalirkan perasaan hangat yang membuat bahagia dalam diriku membengkak seperti roti yang diberi terlalu banyak ragi. Sewaktu-waktu bisa meledak ... tapi, terserahlah. Seandainya pun aku mati malam ini, bisa dipastikan aku akan mati bahagia.
Tapi sepertinya Bagas perlu memastikan sesuatu sebelum harapannya melambung terlalu jauh. "Kamu yakin sudah sadar dan menginginkan ini dengan sadar juga?" tanyanya setelah dengan berat hati melepaskan diri dari bibir manis milikku. "Aku nggak mau, kamu malah merasa harus melakukan sesuatu yang mungkin bikin kamu nyesel besok atau ... ragu, seperti yang kemarin kita lakuin hanya karena aku yang mau dan ingin ...."
"No, I really want this." Aku mencium Bagas sekali lagi. "I want you."
Bagas masih bergeming.
"Gas, please, jangan banyak tanya lagi," aku menatapnya penuh harap. "Cium aku, sebelum aku berubah pikiran!"
"Tapi, Rei, kamu ini nggak sepenuhnya sadar! Sama seperti kamu yang beberapa menit lalu duduk di aspal pinggir jalan sambil teriak-teriak kacau," Bagas menggeram tapi kemudian malah melumat bibirku tanpa ampun.
Kalau boleh aku jujur, ciuman ini tidak jauh beda dengan ciuman yang pernah kurasakan. Awalnya, ciuman itu terasa terburu-buru. Melumat bibirku dengan intensitas gairah yang benar-benar di luar dugaan. Sedikit rasa manis yang masih tersisa di bibir Bagas itu mencengkeram erat kewarasan yang masih tersisa dalam diriku.
"Owh, Bagas benar-benar membuatku frustasi!"
Aku memejamkan mata saat menengadahkan kepala untuk menghirup sebanyak-banyaknya udara ke dalam paru-paru. Serius. Belum apa-apa saja, aku sudah hampir lupa caranya bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...