Hari demi hari berlalu. Bagas berhasil melewati masa kritisnya. Ia bahkan sudah membuka matanya lagi, tapi aku memilih untuk tak ada di sana. Aku tahu dan sangat sadar di mana aku seharusnya. Aku memang istrinya, tetapi aku tak pernah ada di hatinya. Aku hanyalah seperti penopang agar dia bisa tetap hidup dan bahagia bersama Ibu dan juga Medina. Dan untuk itulah, aku berusaha menghindar agar momen terindah dalam hidupnya terus terjaga tanpa adanya aku sebagai perusak, untuk yang kedua kalinya, atau kali berikutnya.
"Reinayya."
Aku memutar tubuh dan menoleh ke asal suara yang memanggil namaku itu. Suaranya masih terdengar asing bagiku, tapi aku cukup tahu siapa pemiliknya.
"Ya, Josh? Apakah ada kondisi darurat yang mengharuskanku turun ke Blue Memorial ?" tanyaku seraya menghapus air mata di wajahku dengan satu usapan cepat.
Lelaki bertubuh atletis yang terlihat sangat nyaman untuk dipeluk itu hanya menatapku nanar. Ia menggeleng pelan. "Rei, untuk apa aku susah payah memanggilmu jika aku bisa gunakan ponsel di dalam sakuku ini?"
Aku mendengus kesal, memaki kebodohan kalimatku itu. Aku sadar, bahwa ini adalah zaman modern dan benar, Josh tak akan mungkin menghabiskan waktu untuk berlari hingga lantai lima hanya untuk mengatakan ada kondisi darurat di bawah.
"Bagaimana keadaan Bagas?" tanyanya dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jas putihnya. Stetoskop berwarna hitam masih melingkar di lehernya.
"Baik. Dia cukup stabil. Thanks for asking," kataku mencoba tersenyum.
Josh masih menatapku lekat. Ia kemudian melangkah mendekatiku yang masih berdiri linglung. "Sepertinya, kamu butuh makan malam," katanya.
Dan entah mengapa lagi-lagi aku terdiam terpaku di tempatku, seolah Josh hanya angin lalu.
"Rei, kamu butuh makan," Josh berbisik.
Kali ini aku menatap lelaki berambut cokelat dengan potongan ala Dean Winchester itu lekat-lekat. Eh, kalau boleh aku meralat, dia lebih cocok dikatakan seperti Jensen Ackles ketimbang Gerard Butler jika wajahnya bersih, bebas dari jenggot dan cambang seperti sekarang. Iris biru matanya hanya tersorot padaku, seolah tahu apa yang sedang kurasakan.
"Ya, aku butuh makan."
Aku berjalan meninggalkan Josh, setengah berlari menuju tangga darurat.
"Reinayya!" panggil Josh berlari mengejarku.
Aku mendorong pintu tangga darurat itu menggunakan lengan sekuat yang kubisa. Dadaku rasanya begitu sesak. Aku benar-benar ingin pergi dan menghilang. Kakiku menuruni anak tangga dengan tergesa tanpa takut terpeleset ataupun terjatuh. Mataku setengah terpejam dan kabur karena air mata yang sudah tak sanggup lagi kubendung. Emosiku meluap. Aku layaknya granat yang siap meledak saat itu juga, hingga tangan Josh berhasil menarikku kuat ke dalam pelukannya.
"Lepasin aku, Josh! Tinggalkan aku sendiri! Aku ingin sendiri!" aku meronta memukul dan mendorongnya ke segala arah, tetapi tangan kokoh Josh mampu menahanku. Ia malah mampu memaksaku jatuh sekali lagi ke dalam pelukannya yang entah ada berapa juta wanita menginginkan hal yang terjadi saat itu padaku.
"Easy," bisiknya berusaha menenangkanku. Satu tangannya memelukku erat, sementara tangan lainnya memegang kepalaku.
"Lepaskan aku, Josh!" kali ini aku berhasil mendorongnya. Aku mundur satu langkah dari lelaki itu. Menatapnya dengan mata basah dan sembap. Dan mungkin, dengan hidung memerah karena banyaknya cairan. "Aku mohon tinggalkan aku sendiri," pintaku mengiba.
"Oke. Aku akan biarkan kamu di sini, tapi aku tidak akan meninggalkanmu," katanya lagi.
Aku memilih untuk tidak menggubrisnya. Namun, kalimatnya setelah itu yang sedikit mengusikku.
"Aku sungguh tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku merasa bahwa aku harus ada di sini, di dekatmu," ujarnya sungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...