"Sekarang, yang bisa aku lakukan hanyalah melupakan Bagas," pikirku saat keluar dari mobil, berjalan meninggalkan area parkiran rumah sakit.
Sejak itu, hari-hari yang kulewati terasa seperti hari-hari lainnya, sebelum aku mengenal Bagas. Apalagi, Bagas, Ibu, dan Medina telah memutuskan keluar dari rumah untuk tinggal di sebuah rumah yang ditawarkan oleh Papa karena rajukan Caitlyn. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Merenggut suami putri kandungnya, untuk diberikan pada putri yang lainnya. Seandainya saja bisa dijadikan sinetron, pasti cukup menarik minat penonton.
Mungkin Bagas benar tentang satu hal. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri, bukannya soal Bagas dan keluarganya yang kebahagiaannya terenggut akibat kecelakaan itu. Aku ingin kabur dari Indonesia karena Brian, bukan karena ingin menolong Bagas. Aku meminta bantuan Papa bukan karena untuk menolong Bagas, tapi karena tak ingin kehilangan pekerjaanku sebagai seorang dokter. Dan parahnya, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih terlalu mencintai Aldo. Apapun kondisinya.
Bagas sejatinya hanyalah fatamorgana.
Fakta itu membuatku sulit tidur di malam harinya. Sedikit-sedikit merasa gelisah, dan otakku pun sulit diajak berpikir jernih karena tengah disesaki banyak hal. Tak jarang, aku merasakan pusing luar biasa hingga mual dan muntah. Makanan jadi hambar, bahkan cenderung pahit.
Aku memang masih melakukan aktivitas sehari-hari, tapi kini tiada beda seperti zombie yang terjebak rutinitas. Datang ke rumah sakit, berinteraksi dengan pasien, tapi hatiku terasa hampa. Dan yang paling menyiksa adalah saat pulang, aku tak memiliki siapapun untuk berbagi keluh kesah ataupun cerita. Tak ada lagi aktivitas menyenangkan dan mendebarkan bersama Bagas. Tak ada lagi hangatnya sapaan Ibu dengan aroma menggoda masakan khas Indonesia yang kurindukan. Tak ada lagi senyuman manis Medina yang selalu menagih sebatang cokelat. Sama sekali tak ada aktivitas lain untuk membuatku sejenak melupakan Bagas dan keluarganya.
"Selamat pagi, Rei," sapa Jenna yang hanya menggerakkan matanya, mengikuti langkahku.
Tak ada balasan dari bibirku. Bahkan, Josh yang sedang berada di samping Jenna pun ikut melirikku tanpa kugubris.
Aku masuk ke dalam Winter Blossom dan langsung menghempaskan diri ke atas sofa tanpa melepas mantel dan meletakkan tas di dalam loker seperti kebiasaanku. Pusing yang kurasakan terasa semakin menyakitkan dan tubuhku rasanya terlalu lemas. Kusandarkan kepalaku agar memperoleh kenyamanan meski sebentar.
Setelah percakapan atau lebih tepatnya keputusan berakhirnya pernikahanku dengan Bagas tempo hari itu, aku pikir bisa melupakan Bagas begitu saja karena mengingat dialah selama ini yang menjadi beban dalam hidupku. Dialah penyebab aku kehilangan gairah hidup dan semua impianku. Tapi, bagaimana bisa aku membohongi diriku sendiri. Aku menatap cincin pernikahan yang masih melingkar di jari manisku dengan menyedihkan. Tatapan penuh damba karena sejauh yang bisa kuingat hanyalah saat Bagas pertama kali mengenakan cincin itu ke jari tanganku. Ketika itu, aku bahkan tak punya pikiran bahwa hubungan kami akan jadi sedalam dan sepersonal sekarang. Dan setelahnya, aku hanya ingin menjalani hidupku sebagai seorang istri tanpa terikat perasaan apapun. Hanya tulus sebagai orang yang bertanggungjawab atas perbuatan dan perkataannya akibat kecelakaan itu. Aku sama sekali tidak merencanakan untuk menikmati saat-saat romantis bersama Bagas. Aku juga tidak merencanakan mencium Bagas saat mabuk dan tak bisa berhenti memikirkannya sepanjang waktu.
Aku sama sekali tak pernah mengira, lelaki sedingin kulkas itu akan membuatku gila seperti sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...